Saturday, April 21, 2012

BELAJAR DARI PASAR BOGOR

          Sekilas tidak ada yang terlihat istimewa dengan bocah berumur sekitar tiga belasan tahun ini yang bekerja sebagai pembawa barang belanjaan di pasar Bogor. Seperti kebanyakan anak-anak lain yang berprofesi sama, tubuh mereka kelihatan kurus, hitam dan kurang terurus dengan gigi yang terlihat kuning karena jarang disikat. Dan pagi ini aku bertemu dengannya ditengah hiruk pikuk pasar Bogor saat menemani istriku belanja di pasar traditional yang ramai, bau dan becek, untuk membantu mengangkat barang belanjaannya. Salah satu kerjaan rutinku disaat sedang libur.
            ” Di bantu dibawain belanjaannya ya, pak ?” bocah itu menawarkan jasanya kepadaku.
            ” Terima kasih, dik, tidak usah. Saya lebih kuat kok.” jawabku.
       ” Beli kantong plastiknya saja, pak. Supaya tidak repot bawanya kalau dijadikan satu.” ujarnya kembali.
         ” Tidak usah. Begini juga tidak apa-apa.” aku kembali menjawab. Dia diam sejenak, kemudian berlalu meninggalkan kami.
          Aku dan istri kembali berbelanja, berjalan dari satu los ke los yang lain untuk menyelesaikan belanjaan yang ada dilist belanjanya. Aku tersenyum, teringat saat aku menemani ibuku berbelanja belasan tahun yang lalu. Sambil membawa barang belanjaan, aku diajarinya cara memilih sayuran, telur, ikan dan banyak hal, termasuk cara menawar belanjaan yang akan dibeli. Bertahun-tahun aku menemani ibuku ke pasar, dan bertahun-tahun pula dia mengajariku hal yang sama seolah-olah aku tidak pernah mengerti apa yang sudah diajarkannya padaku itu. Padahal apa yang diajarinya sudah ada diluar kepalaku semua. Aku hapal nama-nama ikan yang dijual dilos ikan, bahkan dengan melihat ukurannya saja aku bisa tau jumlahnya dalam satu kilogram. Aku tau mana telur yang baru dan sudah lama hanya dari melihat warna kulitnya, juga berapa banyak jumlahnya perkilo dengan melihat ukuran telur tersebut. Aku juga hapal semua nama sayuran dan harganya, termasuk sayuran mana saja yang diperlukan untuk membuat suatu masakan. Tetapi tetap saja ibuku selalu mengajari hal yang sama setiap aku menemaninya belanja.
          Karena itu, sebenarnya aku lebih jago daripada istriku dalam hal belanja barang-barang seperti ini, tapi demi pembagian tugas aku biarkan istriku melakukan seperti apa yang dilakukan ibuku dan aku tetap dengan tugas lama, membawa barang belanjaan. Sampai dirumah kadang-kadang aku suka protes bahwa telur yang dibelinya ukurannya tidak sama, atau timun yang dibelinya tidak begitu bagus.
         Dan bocah itu kembali datang saat istriku sedang memilih kentang yang akan digunakan untuk membuat kuah kari martabak telur pesanan anak-anak.
          ” Saya bawain ya, pak ?” dia kembali menawarkan jasanya.
      ” Tidak usah, dik. Saya lebih kuat, coba saja lihat...” aku berkata sambil memperlihatkan ukuran bicep-ku yang memang lebih besar dari ukuran normal. Dia tertawa, giginya yang kuning dengan sisa-sisa makanan yang menempel semakin  terlihat jelas.
            ” Kalau saya bawain bapak jadi enak jalannya, tidak perlu repot lagi.”
            Istriku melihat kami dan tersenyum, lalu berkata padaku ” Biarkan dia yang bawa, Kang. Kasihan...” Aku mengangguk dan menyerahkan kantong belanjaan itu kepadanya. Bocah itu tersenyum senang sambil menatapku penuh kemenangan.
            Melihat istriku yang masih memilih kentang, bocah itu meletakkan belanjaan kami sambil berkata ” Saya bantu milihan kentangnya ya, bu. Ukurannya seperti itu ya?” lanjutnya lagi sambil menunjuk yang kentang-kentang yang telah dipilih istriku. Sesaat kemudian tangannya dengan cekatan membongkar tumpukan kentang dan segera memilihnya sesuai dengan ukuran yang sama.
            Saat istriku membeli timun, tomat dan bawang merah diapun melakukan hal yang sama membantu memilihkannya sesuai instruksi istriku. Pekerjaan istriku menjadi lebih cepat. Setelah sampai ditempat parkir, aku baru ingat kalau belum membeli pisang karena memang tidak ada dalam list belanjaan.
            ” Ada yang lupa..” kataku pelan
            ” Apa ?” istriku bertanya
            ” Lupa beli pisang.” jawabku singkat
            ” Biar saya yang beli, pak. Bapak tunggu saja di sini. Bapak mau pisang apa ?” tiba-tiba bocah itu menyela pembicaraan kami.
            ” Pisang ambon yang ukurannya besar.” aku menjawab ”dan jangan terlalu matang...”
             ” Baik, pak.” dia segera berlalu meninggalkan kami setelah menerima selembar uang dua puluh ribu dariku.
            Lima menit berlalu...sepuluh menit berlalu. Sialan ! bocah itu belum juga muncul, padahal tukang pisang jaraknya tidak terlalu jauh dan terlihat dari tempat parkir. Beli dimana dia ? Jangan-jangan dia kabur dengan uang dua puluh ribu itu. Yah, tertipu aku kalau begitu.
            Baru saja aku selesai ndumel, tiba-tiba aku melihatnya berlari-lari kecil dengan membawa sesisir pisang menuju ke arah tempat kami parkir.
            ” Maaf, pak. Agak lama. Saya beli pisangnya bukan disitu tetapi disebelah sana karena lebih bagus dan harganya lebih murah.” terangnya sambil menyerahkan pisang ambon yang berwana kuning, besar dan berkulit mulus tanpa ada bercak hitam.
            ” Ini kembaliannya...” dia memberikan kepadaku satu lembar uang sepuluh ribu. Aku terperanjat, bagaimana mungkin dia bisa membeli pisang ambon sebagus dan sebesar ini dengan harga hanya sepuluh ribu ? Biasanya paling murah aku mendapatkannya dengan harga tiga belas atau lima belas ribu rupiah. Di jalan Padjajaran atau di jalan Sukasari, pisang ambon dengan ukuran seperti ini tidak boleh kurang dari tiga puluh ribu rupiah bila hari Sabtu dan Minggu.
            ” Iya, pak, di sebelah sana memang lebih murah, apalagi kalau saya yang membelinya. Para penjual di pasar ini mungkin kasihan melihat kami anak-anak pasar,  sehingga mereka tidak tega memberikan harga yang sama dengan harga yang diberikan kepembeli lain.
            ” Oooo...” aku mengguman pelan. ” Berapa ongkos jasamu membawakan belanjaan kami, dik ?” tanyaku
            ” Terserah saja, pak. Biasanya tiga ribu rupiah.” jawabnya cepat.
            ” Upah jasamu membantu membelikan pisang dan membantu memilihkan belanja istri saya berapa ?” tanyaku lagi.
            ” Oh, itu tidak perlu dibayar, pak. Saya kasihan saja melihat ibu memilih kentang dan timun sendiri. Juga supaya belanjanya cepat selesai.”
            Aku terdiam. Anak ini secara insting telah melakukan marketing strategy yang hebat. Bagaimana dia melakukan customer care terhadap client-nya, bukan lagi hanya sebatas melakukan customer service apalagi sekedar ”lips services” seperti pada promosi internet provider yang mengatakan jaringannya cepat sehingga diiklan yang ditayangkan perlu mengenakan safety belt, tapi kenyataannya sangat lambat. Dia telah melakukan sesuatu yang dia tidak sadari bahwa hal tersebut hal yang pernah dilakukan oleh seorang CEO dari JetBlue, David Neeleman, untuk membangun sebuah perusahaan penerbangan yang hebat, sehingga Neeleman menjadi pemberitaan diberbagai majalah bisnis atas strateginya ini. Sebuah strategi yang sama dengan yang dilakukan bocah pembawa barang belanjaan dari pasar Bogor ; gigih menawarkan, melayani, membantu dan melakukan interaksi dengan pelanggan dengan satu tujuan akhir ”customer satisfaction”.
            Sebuah pelajaran penting yang sangat murah yang aku dapatkan bila dibandingkan dengan selembar uang lima puluh ribuan yang aku selipkan ditangannya sebelum kami meninggalkan pasar Bogor. Hukum pasar memang pasti berlaku ”you will get more from your satisfied customer”, dan Ace’ bocah pembawa belanjaan dari pasar Bogor membuktikan itu.