Saturday, March 14, 2009

MENANTI JAM KULIAH


Ini bukan sedang berjudi apalagi pornography. Kegiatan ini hanya mengisi waktu luang disaat menunggu jam kuliah, sekalian mengasah ketrampilan bermain remi. Dizaman ini dulu belum ada permainan “song”, jadi yang dimainkan saat itu mungkin permainan “set-sot” kalau tidak salah, atau mungkin permainan 41 malah. Aku tidak tahu karena aku tidak tertarik bermain remi.

Teman saya yang terlihat diphoto tersebut adalah Richard, Pe’i, Romas dan Awang sedang buka baju sudah pasti karena kepanasan. Maklum, kalau tidak salah tempat costnya Richard di Jalan Riau ini tidak menggunakan AC. Mungkin ditahun itu harga AC masih mahal sehingga hanya menggunakan kipas angin saja. Yang habis dikerok karena masuk angin, biasanya kalau ikut bermain tidak membuka baju dan juga tidak membuka celana (apa hubungannya???).

Tempat cost Richard ini memang jadi tempat berkumpul saat menunggu jam kuliah berikutnya dan melakukan berbagai kegiatan. Kadang-kadang kita membuat tugas disini, membuat contekan untuk ujian, meminjam komputernya untuk membuat makalah atau tempat belajar jadi “dewasa” dengan melihat buku-buku dewasa yang dibawa oleh kawan-kawan yang lain dan biasanya saling bertukar pinjam.

Yang punya rumah kalau tidak salah adalah seorang janda yang punya hobby berjudi. Hampir setiap hari kami melihat tamunya datang, untuk berjudi barangkali. Mungkin uang bayaran cost itulah yang dia jadikan modal untuk bermain bersama tamu-tamunya tersebut. Dan Mungkin karena itu juga Richard tidak boleh terlambat membayar uang cost, karena kalau terlambat maka janda itu tidak bisa bermain judi.

Kalau lagi asyik bermain remi dan jam kuliah berikutnya tiba, kadang-kadang ada alasan untuk tetap meneruskan permainan remi tersebut sampai selesai. Alasan yang sering dipakai adalah “..males ah, yang ngajar pak Fusito...” atau “..tidak datang juga tidak apa-apa karena yang mengajar pak Valentino..” atau juga “...nitip absen dong..” dan banyak lagi alasan-alasan yang lain yang kami buat.

Namun kalau mata kuliah berikutnya adalah mata pelajaran yang diajarkan oleh mbak Mawarni, biasanya kita segera bergegas supaya dapat tempat duduk di depan ruangan kuliah. Maklum, mbak ini dosen muda yang cukup cantik wakaupun sedikit judes dan ketus. Yah, paling tidak lumayanlah untuk kita-kita yang lagi pada puber. Beda dengan jurusan teknik kimia yang mayoritas malah perempuan, sehingga mahasiswanya malah sudah pada imun, sudah terbiasa berdekatan dengan teman ceweknya sehingga gejolaknya tidak sekencang mahasiswa jurusan mesin. Sudah tidak dahsyat lagi!

Sekarang Richard dan Romas sudah tidak gondrong lagi dan terlihat dan terlihat rapi. Mungkin karena pengaruh bertambahnya usia dan karirnya di tempat kerja. Tapi yang jelas mereka lebih terlihat tampan saat ini, beda dengan saat itu yang terlihat seperti penyanyi dangdut walaupun mereka meng-claim seperti penyanyi rock. Hahaha...

FITNESS

Sekitar pertengahan tahun 1991, Teman saya Henry dan Richard memperkenalkan olah raga angkat beban yang saat itu sering kami sebut dengan fitness. Suatu penggunaan kata yang salah sebenarnya karena olah raga yang kami lakukan lebih menjurus untuk menjadi binaraga, bukan sekadar olah raga untuk menjaga kebugaran tubuh.

Tempat olah raga angkat beban tersebut bukan di hotel atau di tempat kebugaran yang bagus, tempat yang menjadi sarana latihan kami terletak di gang kecil di jalan Ali Gatmir pasar Kuto, tepatnya di lorong Dagi. Tempat yang sering juga kami sebut dengan Dagi Fitness.

Di Dagi fitness jangan berharap tersedianya instruktur yang akan mengajarkan olahraga ini atau membayangkan tersedianya alat yang modern untuk membentuk tubuh seperti di gymnastic kepunyaan Ade Rai. Semua peralatan disini benar-benar seadanya. Lempengan barbel yang terbuat dari plat besi yang dipotong, tempat bench press dari kayu, pararel dips yang terbuat dari setang sepeda atau peralatan row chest yang terbuat dari rantai sepeda. Hampir sebagian besar peralatan disini adalah home made, buatan sendiri.

Namun mungkin karena murah atau karena pemiliknya adalah pelatih angkat berat di Palembang, tempat tersebut sangat ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin memperbesar otot tubuh mereka. Termasuk juga saya dan teman-teman seperti Henry, Richard, Novian, Ruslan, Harry, Romas, Budi dan Redy. Tapi seperti biasa, lama kelamaan hanya saya , Novian dan Henry saja yang tekun berlatih dan berkunjung walau saat ujian sekalipun (lha wong saya kalo ujian selalu memilih duduk dekat sama yang rajin belajar..)

Sewaktu masih ramai-ramai berlatih, begitu selesai biasanya kami langsung menuju rumah makan martabak telor HAR di jalan kol. Atmo untuk menggantikan energi yang hilang. Saya, Henry dan Harry biasanya bisa memakan martabak tersebut sampai 3 atau 4 piring (padahal saat ini untuk menghabiskan 1,5 piring saja sudah sulit). Novian bisa memakan 2 atau 3 piring, sedangkan yang lainnya paling banter 1,5 piring saja. Karena selalu memakan dengan porsi super itulah penjaga toko martabak tersebut sangat senang bila kami datang . Laris, pasti itu yang ada dalam pikirannya!

Seperti biasanya orang yang ingin memamerkan otot, maka semakin besar otot yang dia miliki anehnya semakin kecil ukuran baju yang dibeli. Kalau dulu memakai ukuran XL, sekarang diturunkan menjadi ukuran L. Supaya tidak ada celah lagi antara baju dengan tubuh. Supaya benar-benar nge-press..he..he... Padahal sungguh mati, otot yang kami miliki saat itu lebih mirip otot kuli angkut daripada otot binaragawan (lha wong latihannya memang sama para kuli angkut lemari di sekitar Dagi dan tanpa pelatih, mana mungkin jadi bisa kayak Ade Rai).

Henry yang memang berbadan paling besar, ternyata punya obsesi untuk menggantikan Lou Ferigno untuk menjadi Hulk, si Raksasa Hijau dalam film The Incridible Hulk. Sudah sedikit mirip memang, namun tidak miripnya jauh lebih banyak, terutama untuk otot bagian perut. Namun demikian, tidak saya lihat sekalipun dia memasukan latihan otot perut kedalam program latihan yang dilakukannya. Hampir melulu program yang ada hanyalah otot dada, otot lengan dan otot pundak. Tidak jauh berbeda dengan latihan yang saya lakukan (namanya juga tukang contek, jadi apa yang Henry lakukan itu yang saya turuti).

Sampai saat ini, saya dan Henry masih sering membicarakan olahraga angkat beban bila bertemu. Namun hanya sebatas membicarakan saja sambil tertawa mengingat kebodohan yang pernah kami lakukan. Sekarang kami berdua disarankan dokter untuk tidak melakukan olahraga tersebut karena terkena penyakit yang sama. Sakit pinggang! Penyakit yang datangnya belasan tahun kemudian karena kesalahan program latihan waktu dulu. Sekarang terkubur sudah impian Henry untuk menggantikan Lou Ferigno, apalagi setelah menyaksikan film terbaru tentang Hulk ternyata telah menggunakan animasi komputer sehingga tidak membutuhkan seseorang yang berotot besar lagi.

KUCING SIALAN !

Kucing dalam judul cerita di atas bukanlah kucing dalam arti sebenarnya. Bukan kucing yang berkaki empat yang kadang menggemaskan tetapi lebih sering lagi menjengkelkan bagi saya. Bukan kucing yang suka bermanis-manis dihadapan kita kemudian mencuri ikan saat kita lengah. Kucing ini juga bukan turunan persia yang berbulu panjang dan lebat atau turunan angora yang kelihatan anggun.

Kucing disini adalah Harry. Kawan satu angkatan saat saya kuliah. Harry yang dulu saat kuliah selalu telat datang karena sibuk menyiapkan jualan otak-otak dan pempek punya Aji, seorang janda keterunan China beranak tiga yang tinggal di pasar Cinde.

Setelah kuliah selesai dan bertemu di Jakarta sekitar tahun 1999 si Hotel Sahid, ada sesuatu yang ganjil yang aku lihat dari kartu nama yang diberikannya. Harry Cadine ! Ya, Harry yang saat kuliah dulu hanya bernama Harry, sekarang menempelkan Cadine di belakang namanya. Aku tidak tahu dari mana asalnya nama ini karena malas untuk bertanya. Mungkin nama ini diambilnya dari nama bapaknya, atau dari nama bintang film yang baru ditontonnya atau mungkin juga direka-reka supaya kelihatan keren.

Saat kami makan malam di kamar hotel, ternyata nafsu makannya belum juga berubah, masih sama seperti masih kuliah dulu. Satu porsi besar steak dan kentang belumlah cukup untuk mengisi perutnya. 3 jam kemudian harus ditambah dengan satu mangkok besar sop buntut dan sepiring nasi. Celananya yang dulu berukuran 34 mungkin sudah berukuran 38 sekarang. Yang paling menakjubkan adalah pertumbuhan lingkar perutnya, dahsyat men .... (kalau ada diantara kawan-kawan yang sulit membayangkan lingkar perut Harry, silahkan lihat patung Budha di Kelenteng ... 95% mirip .. he..he..).

Sampai saat ini saya belum tahu kenapa saat kuliah dulu Harry di panggil Kucing atau Harry Kucing. Namun nama ini memang jauh lebih populer dari pada nama aslinya. Awalnya Harry sangat keberatan dengan panggilan ini, namun lama –kelamaan akirnya dia pasrah juga.

Kucing sialan! Ya, Harry memang benar-benar sialan termasuk juga Henry, kawan saya yang satu lagi. Sialan yang memang benar-benar sialan. Sialan yang membuat saya harus menggambar ulang tugas akhir saya dari awal kembali padahal saat itu sudah 80% selesai. Gambar tugas akhir yang sudah saya kerjakan selama 3 hari 3 malam musnah seketika saat saya meminta bantuan mereka untuk melanjutkannya karena saya sudah kecapaian dan tertidur.

Wah, sebal sekali! Lebih sebalnya lagi bahwa gambar tersebut rusak karena tertumpah kuah soto yang saya belikan sebagai sogokan supaya mereka mau membantu menyelesaikan gambar tersebut. Sogokan yang membawa bencana, atau mereka berdualah sebenarnya pembawa bencana bagi saya? Celakanya, saya baru tahu bahwa gambar tersebut rusak setelah saya bangun dari tidur dan mendapati mereka berdua sudah pulang tanpa pamit. Alamak ....

Ha..ha... kejadian menyebalkan tersebut sekarang menjadi kenangan yang indah. Kejadian yang bisa menjadi bahan tertawa saat kami kumpul bersama kawan-kawan satu angkatan kuliah dulu. Sudah puluhan kali cerita ini disampaikan saat kami bertemu, baik oleh saya, Harry maupun oleh Henry. Tetapi kami tidak pernah bosan dan selalu kembali tertawa. Mentertawakan kelakukan kita saat masih kuliah.

Sampai sekarang sudah tentu Harry masih suka kita panggil Kucing. Tapi dengan embel-embel yang baru pula “boss Harry Kucing”. Embel-embel baru yang didapatkan seiring dengan pertumbuhan lingkar perutnya yang semakin maju ke depan.

LONTONG SAYUR

Saat masa kuliah dulu, tempat makanan favorit saya adalah warung kecil di pinggir jalan di daerah Puncak Sekuning, Bukit Besar. Rumah makan ini terletak diujung jalan yang membelah kuburan penduduk sekitar daerah tersebut. Kuburan yang padat. Kuburan yang terkenal dengan nama yang sama “Puncak Sekuning”.

Saya suka makan di sana bukan karena makanannya enak, tetapi lebih karena harganya yang murah. Maklum saat kuliah uang saku selalu diberi pas-pasan oleh orang tua. Di sana dengan uang 1000 rupiah sudah bisa makan sepiring besar lontong plus beberapa potong tempe. Sudah cukup untuk mengganjal perut sampai jadwal makan siang datang.

Saat makan siang, yang lebih sering menemani makan di sana adalah Henry dan Harry. Teman saya yang dua ini nafsu makannya luar biasa. Satu bakul nasi bisa dihabiskan sendirian saja walaupun lauknya cuma sepotong tempe dan semangkuk sayur. Bagi kami yang penting nasi, lauk urusan belakangan. Yang penting murah dan mengenyangkan, sehat urusan belakangan. Kalau sudah masuk perut, biar perut yang mengaturnya ..ha..ha...

Henry inilah yang mengenalkan saya dengan olehraga angkat beban. Berat badan saya yang semula hanya 59 kilo, naik drastis menjadi 71 kilo hanya dalam waktu 3 bulan. Tangan saya yang semula kecil, sekarang kelihatan bendol-bendolnya. Dada yang dulu rata, sekarang sudah seperti dada perempuan abege. Kalau pakai baju, kelihatan sempit dan nge-press bentuk tubuh. Wuihhh..keren...

Tapi gara-gara olahraga ini juga ibu saya sering berteriak histeris karena telor di dalam kulkas cepat sekali habisnya. Sehari saya bisa melahap delapan butir telor. Menurut Henry, Ade Rai malah bisa makan sampai 40 butir telor sehari. Bayangkan kalau pas lagi kentut, bagaimana baunya ...

Sebagai remaja yang baru tumbuh dengan olah raga berat yang jadi pilihan, sudah tentu kami perlu asupan energi yang banyak. Energi inilah yang kami dapatkan dari sebakul nasi, semangkuk sayur dan beberapa potong tempe dari warung makan yang kami beri nama “PCK”, kependekan dari Puncak Sekuning. Belakangan baru saya tahu bahwa nasi ternyata merupakan sumber karbohidrat yang buruk untuk proses pembentukan otot. Pantesan disamping ototnya muncul, perut juga ternyata ikut muncul ...

MEMILIH KAMERA DIGITAL

Saat ini kamera digital bukan merupakan suatu barang langka yang wah lagi. Beda dengan saat pertama kali saya melihat kamera tersebut pada tahun 1997 saat bekerja di Proyek Pembangunan Corridor Block Gas Project milik Asamera di kecamatan Bayung Lencir – Muba. Sekitar bulan Agustus tahun tersebut, boss saya yang orang Jepang kembali masuk kerja setelah cuti selama satu bulan untuk pulang ke Jepang. Saat kembali masuk kerja itulah disamping dia membawa majalah dewasa untuk kawan-kawannya yang telah lama tidak pulang, dia juga membawa kamera digital. Kamera yang entah saya lupa mereknya itu masih menggunakan internal memory untuk menyimpan data gambar, baru kemudian ditransfer ke komputer. Hasil gambarnya cukup menakjubkan untuk ukuran saat itu, walaupun resolusinya hanya sekitar 1,4 mega pixel. Maklum saat itu masih dominan menggunakan kamera analog. Sehingga saat melihat kamera yang gambarnya bisa preview langsung di komputer menjadi takjub.
Salah satu tugas saya saat itu adalah mengambil photo progress pekerjaan untuk dijadikan laporan proyek. Setiap akhir bulan saya keliling ke empat lokasi proyek untuk mendapatkan photo-photo ini. Harapan saya, boss saya akan meminjamkan kamera digitalnya untuk saya gunakan. Wah, pasti keren pikir saya kalau saya cerita sama pacar (sekarang sudah jadi istri saya) bahwa saya menggunakan kamera digital. Perlu diingat, seperti tulisan saya diatas bahwa ini barang langka lho, new technologi, barang mahal karena dibawa langsung dari Jepang dan oleh orang Jepang pula (walaupun Jepangnya termasuk yang dekil).
Eh, ternyata harapan saya meleset. Saya disuruhnya tetap menggunakan kamera saku analog merk Nikon. Kamera digitalnya tetap dia pakai sendiri walaupun sumpah mati hasil photo saya jauh lebih bagus dari photonya.
Delapan tahun kemudian ternyata perkembangan kamera ini terasa begitu cepat. Dari yang resolusinya 1,4 MP melesat menjadi 8 MP, bahkan sudah ada yang 24 MP yang diluncurkan akhir tahun kemarin. Dari kamera prosumner sampai ke DSLR, bahkan handphone saja sudah dilengkapi dengan kamera digital dengan resolusi sampai 8 MP. Zaman sekarang kalau tidak punya kamera digital terasa seperti kuda gigit besi alias ketingggalan zaman.
Nah, kalau saat ini kawan-kawan punya dan ingin membeli kamera digital, bagaimana cara memilihnya?
Ada beberapa tips yang bisa dijadikan panduan dalam memilih kamera digital seperti dituliskan di bawah ini :
1. Tentukan dulu kamera digital ini akan diperlukan untuk apa. Kalau hanya untuk dokumentasi keluarga, disimpan dalam komputer saja atau akan dicetak hanya seukuran 4R, lebih banyak digunakan dalam kondisi yang bagaimana? Low ligh atau normal light? Nah kalau sudah tahu akan lebih banyak digunakan untuk apa baru kita bisa menentukan pilihan. DSLR pada umumnya punya kemampuan merekam gambar yang baik karena ukuran sensornya lebih besar dari kamera prosumer (pocket camera). Jadi kalau punya kamera prosumer 10 MP jangan bangga dulu, karena hasilnya tidak akan lebih baik dari kamera DSLR yang hanya 6 MP. Ingat sebagian besar kamera prosumer ada interpolasi pixel, sehingga kalau dicetak besar gambarnya kelihatan pecah-pecah. Jadi kalau hanya untuk dokumentasi keluarga pilih saja kamera prosumer yang harganya mulai dari 1,4jt – 4jt-an.
2. Tentukan lagi hobby kita motret apa? Kalau hobbinya motret artis mandi, yah sudah pasti diperlukan kamera dengan lensa panjang (tele lens) supaya tidak ketahuan. Dan fasilitas untuk ganti mengganti lensa ini yang tidak terdapat pada kamera prosumer. Kalau hobbinya motret alam maka diperlukan kamera dengan lensa pendek (wide lens), fasilitas ini terdapat juga pada kamera prosumer. Memotret artis mandi dengan lensa wide akan membuat gambarnya menjadi distorsi sehingga ada bagian tubuh yang tidak perlu besar malah kelihatan membesar, disamping juga bisa kena gampar artis yang bersangkutan karena lebih mudah untuk ketahuan.
3. Apakah ini hanya hobbi atau mau dijadikan bisnis? Kalau hanya menyalurkan hobbi dan punya uang terbatas, kamera prosumer sudah cukup. Tapi kalau mau dijadikan lahan untuk cari uang ya harus beli kamera DSLR. Di samping hasilnya akan lebih bagus karena gambarnya tidak pecah kalau dicetak besar, juga supaya konsumen percaya kalau kita motret dengan serius, atau juga supaya kelihatan seperti photographer profesional (walaupun mungkin saja photonya tetap jelek juga..he..he..)
4. Apakah kamera ini untuk investasi atau untuk digunakan sehari-hari? Kalau untuk investasi sebaiknya membeli emas, tanah atau rumah karena harganya tidak mungkin turun. Tetapi kalau untuk digunakan motret ya belilah kamera karena emas, tanah dan rumah bukan merupakan alat potret sehingga tidak bisa menghasilkan gambar.
5. Merk apa? Saat ini hampir semua kamera yang ada memiliki kemampuan yang bagus dan setara. Jadi bebas saja memilih merk sesuai dengan kondisi keuangan kita, asal jangan saja memilih merk yang baru terdengar. Usahakan membeli kamera yang memberikan garansi sehingga mudah untuk memperbaiki kalau terjadi kerusakan.
Saran terakhir, sebaiknya jangan percaya dengan para maniak merk kamera yang bilang ini bagus, itu bagus. Ingat pepatah “the man behind the camera” untuk menghasilkan gambar yang berkualitas.
Selamat membeli kamera.

KELUARGA SAYA

Photo disebelah adalah photo saya dan keluarga. Saya menikah tahuin 1998 pada tanggal 28 Juni. Satu kenangan yang indah yang mendebarkan yang tidak mungkin bisa terlupakan. Bukan hanya kisah pertemuan saya dan istri saja yang menjadi suatu kenangan indah tersebut, tetapi persiapan menikah kami juga menjadi sesuatu yang menegangkan. Bagaimana tidak! Tahun tersebut adalah salah satu tahun yang pahit bagi bangsa Indonesia. Reformasi! Suatu keadaan yang menyebabkan ketidak stabilan harga barang. Stabil menjadi turun pasti tidak masalah, namun ketidak stabilan disini dalam arti sebenarnya semua harga barang melambung tinggi karena terjadi inflasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Bayangkan, pada saat itu 1 US$ hampir 16 ribu rupiah.
Menikah? Ya, setidak-tidaknya harus ada pesta, harus ada tukang photonya, harus punya jas dan harus punya cincin kawin setidak-tidaknya. Nah dua yang saya sebut belakangan inilah yang membuat peristiwa persiapan menikah ini menjadi kenanagan yang indah saat ini.
Pertama masalah jas yang akan dipakai saat akad nikah. Sebulan sebelum akad nikah saya pergi ke Megahria untuk membuat jas. Karena ini perkawinan yang pertama (dan terakhir tentunya), sudah pasti saya memilih untuk menjahit ditempat yang terbaik dengan bahan yang terbaik pula. Mahal? No problem. Sebagai pekerja proyek di perusahaan asing dengan jabatan yang lumayan, uang tidak menjadi masalah saat itu (padahal saat kuliah, kalau makan pagi dan siang cukup dengan lontong tempe di Puncak Sekuning). Yang penting saat akad nikah nanti terlihat keren dan gagah, kalau perlu semua gadis-gadis yang hadir saat itu pada naksir semua ..he..he...
Setelah selesai mengukur jas, dijanjikan jasnya akan selesai dalam waktu 3 minggu. Artinya 1 minggu sebelum akan nikah jas sudah bisa dipantas-pantaskan, sehingga kalau ada yang kurang pantas masih ada waktu untuk memperbaikinya.
Hari demi hari berlalu .... semua aman. Namun kira-kira 3 hari menjelang pengambilan jas tersebut, saya melihat di televisi bahwa Megahria terbakar. Alamak, bagaimana dengan jas-ku? Pasca kebakaran semua toko dikawan Megahria masih di beri police line. Wah, bagaimana mencari yang punya toko supaya dapat penggantian?
Alhamdulillah setelah keliling sana-sini ke penjahit lain, ternyata ada juga yang sanggup menyelesaikan pembuatan jas hanya dalam waktu 1 minggu. Penjahit pinggir jalan yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, Bang Dul namanya. Harganya? Ha..ha.. hampir separoh dari jas yang ikut terbakar di Megahria. Saat selesai dan dipakai ternyata ..waw..keren juga. Jahitannya rapi dan halus. Kualitas toko harga pinggir jalan.
Yang kedua cincin kawin. Pasca reformasi yang ditandai dengan diserahkannya jabatan presiden dari Suharto ke Habibie, hampir semua toko masih tutup. Penduduk keturunan China yang mayoritas pedagang masih takut untuk menampakkan diri. Sebagian besar dari mereka trauma akibat tindakan brutal penduduk pribumi terhadap mereka. Akibatnya ya toko emas pada tutup semua. Saya dan istri (calon istri saat itu) tidak tahu lagi mau mencari cincin emas kemana. Issue lain ada yang mengatakan emas tidak bisa dijual saat ini karena harganya tidak stabil, sehingga mereka takut rugi. Gawat!
Namun seperti biasa kalau kita percaya “bahwa dibalik kesusahan pasti ada kemudahan. Dan sesungguhnya dibalik kesusahan pasti ada kemudahan.” Pasti ada bantuan yang datang. Dan Alhamdullilah, kenalan istri saya bersedia untuk membantu menyediakan cincin emas tersebut yang walaupun ternyata kadar karatnya tidak sama dan ukuran cincin saya harus kenakan kekecilan sehingga harus diminyakin terlebih dahulu pada saat acara saling pakai cincin setelah acara akad nikah. Bersyukurnya lagi ternyata setelah harga emas stabil, kami diperbolehkan untuk menukarnya dengan cincin kawin yang lebih baik.
Kembali ke photo saya perkenalkan istri saya bernama Juliana Dewi Kartikawati, alumni Sipil Universitas Sriwijaya Amngkatan ’91. Kami sama sekali tidak pernah saling mengenak disaat kuliah. Perkenalan baru terjadi saat sama-sama kerja ditengah hutan saat proyek pembangunan Corridor Blok Gas Project milik Asamera di desa Grissik kecamatan Bayung Lencir – Muba. Anak saya yang pertama lahir di Palembang, 25 Februari 2000, namanya Frinandya Dewi Sutedja. Yang kedua lahir di Palembang, 08 Juli 2002, namanya Anandya Dewi Saputra. Saat yang menegangkan karena menjelang kelahirannya saya masih berada di Amerika. Dan yang terakhir bernama Muhammad Rafif Deka Saputra, lahir di Jakarta pada tanggal 07 Juli 2008.
InysaAllah kami dijadikan keluarga yang sakinah, mawadah warahmah. Amin.