Saturday, April 21, 2012

BELAJAR DARI PASAR BOGOR

          Sekilas tidak ada yang terlihat istimewa dengan bocah berumur sekitar tiga belasan tahun ini yang bekerja sebagai pembawa barang belanjaan di pasar Bogor. Seperti kebanyakan anak-anak lain yang berprofesi sama, tubuh mereka kelihatan kurus, hitam dan kurang terurus dengan gigi yang terlihat kuning karena jarang disikat. Dan pagi ini aku bertemu dengannya ditengah hiruk pikuk pasar Bogor saat menemani istriku belanja di pasar traditional yang ramai, bau dan becek, untuk membantu mengangkat barang belanjaannya. Salah satu kerjaan rutinku disaat sedang libur.
            ” Di bantu dibawain belanjaannya ya, pak ?” bocah itu menawarkan jasanya kepadaku.
            ” Terima kasih, dik, tidak usah. Saya lebih kuat kok.” jawabku.
       ” Beli kantong plastiknya saja, pak. Supaya tidak repot bawanya kalau dijadikan satu.” ujarnya kembali.
         ” Tidak usah. Begini juga tidak apa-apa.” aku kembali menjawab. Dia diam sejenak, kemudian berlalu meninggalkan kami.
          Aku dan istri kembali berbelanja, berjalan dari satu los ke los yang lain untuk menyelesaikan belanjaan yang ada dilist belanjanya. Aku tersenyum, teringat saat aku menemani ibuku berbelanja belasan tahun yang lalu. Sambil membawa barang belanjaan, aku diajarinya cara memilih sayuran, telur, ikan dan banyak hal, termasuk cara menawar belanjaan yang akan dibeli. Bertahun-tahun aku menemani ibuku ke pasar, dan bertahun-tahun pula dia mengajariku hal yang sama seolah-olah aku tidak pernah mengerti apa yang sudah diajarkannya padaku itu. Padahal apa yang diajarinya sudah ada diluar kepalaku semua. Aku hapal nama-nama ikan yang dijual dilos ikan, bahkan dengan melihat ukurannya saja aku bisa tau jumlahnya dalam satu kilogram. Aku tau mana telur yang baru dan sudah lama hanya dari melihat warna kulitnya, juga berapa banyak jumlahnya perkilo dengan melihat ukuran telur tersebut. Aku juga hapal semua nama sayuran dan harganya, termasuk sayuran mana saja yang diperlukan untuk membuat suatu masakan. Tetapi tetap saja ibuku selalu mengajari hal yang sama setiap aku menemaninya belanja.
          Karena itu, sebenarnya aku lebih jago daripada istriku dalam hal belanja barang-barang seperti ini, tapi demi pembagian tugas aku biarkan istriku melakukan seperti apa yang dilakukan ibuku dan aku tetap dengan tugas lama, membawa barang belanjaan. Sampai dirumah kadang-kadang aku suka protes bahwa telur yang dibelinya ukurannya tidak sama, atau timun yang dibelinya tidak begitu bagus.
         Dan bocah itu kembali datang saat istriku sedang memilih kentang yang akan digunakan untuk membuat kuah kari martabak telur pesanan anak-anak.
          ” Saya bawain ya, pak ?” dia kembali menawarkan jasanya.
      ” Tidak usah, dik. Saya lebih kuat, coba saja lihat...” aku berkata sambil memperlihatkan ukuran bicep-ku yang memang lebih besar dari ukuran normal. Dia tertawa, giginya yang kuning dengan sisa-sisa makanan yang menempel semakin  terlihat jelas.
            ” Kalau saya bawain bapak jadi enak jalannya, tidak perlu repot lagi.”
            Istriku melihat kami dan tersenyum, lalu berkata padaku ” Biarkan dia yang bawa, Kang. Kasihan...” Aku mengangguk dan menyerahkan kantong belanjaan itu kepadanya. Bocah itu tersenyum senang sambil menatapku penuh kemenangan.
            Melihat istriku yang masih memilih kentang, bocah itu meletakkan belanjaan kami sambil berkata ” Saya bantu milihan kentangnya ya, bu. Ukurannya seperti itu ya?” lanjutnya lagi sambil menunjuk yang kentang-kentang yang telah dipilih istriku. Sesaat kemudian tangannya dengan cekatan membongkar tumpukan kentang dan segera memilihnya sesuai dengan ukuran yang sama.
            Saat istriku membeli timun, tomat dan bawang merah diapun melakukan hal yang sama membantu memilihkannya sesuai instruksi istriku. Pekerjaan istriku menjadi lebih cepat. Setelah sampai ditempat parkir, aku baru ingat kalau belum membeli pisang karena memang tidak ada dalam list belanjaan.
            ” Ada yang lupa..” kataku pelan
            ” Apa ?” istriku bertanya
            ” Lupa beli pisang.” jawabku singkat
            ” Biar saya yang beli, pak. Bapak tunggu saja di sini. Bapak mau pisang apa ?” tiba-tiba bocah itu menyela pembicaraan kami.
            ” Pisang ambon yang ukurannya besar.” aku menjawab ”dan jangan terlalu matang...”
             ” Baik, pak.” dia segera berlalu meninggalkan kami setelah menerima selembar uang dua puluh ribu dariku.
            Lima menit berlalu...sepuluh menit berlalu. Sialan ! bocah itu belum juga muncul, padahal tukang pisang jaraknya tidak terlalu jauh dan terlihat dari tempat parkir. Beli dimana dia ? Jangan-jangan dia kabur dengan uang dua puluh ribu itu. Yah, tertipu aku kalau begitu.
            Baru saja aku selesai ndumel, tiba-tiba aku melihatnya berlari-lari kecil dengan membawa sesisir pisang menuju ke arah tempat kami parkir.
            ” Maaf, pak. Agak lama. Saya beli pisangnya bukan disitu tetapi disebelah sana karena lebih bagus dan harganya lebih murah.” terangnya sambil menyerahkan pisang ambon yang berwana kuning, besar dan berkulit mulus tanpa ada bercak hitam.
            ” Ini kembaliannya...” dia memberikan kepadaku satu lembar uang sepuluh ribu. Aku terperanjat, bagaimana mungkin dia bisa membeli pisang ambon sebagus dan sebesar ini dengan harga hanya sepuluh ribu ? Biasanya paling murah aku mendapatkannya dengan harga tiga belas atau lima belas ribu rupiah. Di jalan Padjajaran atau di jalan Sukasari, pisang ambon dengan ukuran seperti ini tidak boleh kurang dari tiga puluh ribu rupiah bila hari Sabtu dan Minggu.
            ” Iya, pak, di sebelah sana memang lebih murah, apalagi kalau saya yang membelinya. Para penjual di pasar ini mungkin kasihan melihat kami anak-anak pasar,  sehingga mereka tidak tega memberikan harga yang sama dengan harga yang diberikan kepembeli lain.
            ” Oooo...” aku mengguman pelan. ” Berapa ongkos jasamu membawakan belanjaan kami, dik ?” tanyaku
            ” Terserah saja, pak. Biasanya tiga ribu rupiah.” jawabnya cepat.
            ” Upah jasamu membantu membelikan pisang dan membantu memilihkan belanja istri saya berapa ?” tanyaku lagi.
            ” Oh, itu tidak perlu dibayar, pak. Saya kasihan saja melihat ibu memilih kentang dan timun sendiri. Juga supaya belanjanya cepat selesai.”
            Aku terdiam. Anak ini secara insting telah melakukan marketing strategy yang hebat. Bagaimana dia melakukan customer care terhadap client-nya, bukan lagi hanya sebatas melakukan customer service apalagi sekedar ”lips services” seperti pada promosi internet provider yang mengatakan jaringannya cepat sehingga diiklan yang ditayangkan perlu mengenakan safety belt, tapi kenyataannya sangat lambat. Dia telah melakukan sesuatu yang dia tidak sadari bahwa hal tersebut hal yang pernah dilakukan oleh seorang CEO dari JetBlue, David Neeleman, untuk membangun sebuah perusahaan penerbangan yang hebat, sehingga Neeleman menjadi pemberitaan diberbagai majalah bisnis atas strateginya ini. Sebuah strategi yang sama dengan yang dilakukan bocah pembawa barang belanjaan dari pasar Bogor ; gigih menawarkan, melayani, membantu dan melakukan interaksi dengan pelanggan dengan satu tujuan akhir ”customer satisfaction”.
            Sebuah pelajaran penting yang sangat murah yang aku dapatkan bila dibandingkan dengan selembar uang lima puluh ribuan yang aku selipkan ditangannya sebelum kami meninggalkan pasar Bogor. Hukum pasar memang pasti berlaku ”you will get more from your satisfied customer”, dan Ace’ bocah pembawa belanjaan dari pasar Bogor membuktikan itu.

Monday, July 18, 2011

RUMAH MAKAN BARU

Pada tanggal 9 Juli yang lalu, saya dan keluarga merayakan hari ulang tahun Rafif – anak bungsu saya, Dea – anak yang nomor dua, dan Istri saya. Kebetulan hari kelahiran mereka berurutan 7,8 dan 9. Cukup unik dan perayaannya selalu dilakukan bersamaan, tiup kue yang sama setelah lilin angka umurnya diganti, kemudian kami lanjutkan dengan makan malam diluar. Selalu kami rayakan dengan sangat sederhana.

Dea yang lahir pada tanggal 8 Juli 2002, sebenarnya baru akan lahir pada tanggal 9 dini hari. Namun karena mertua laki-lakiku yang orang Jawa masih punya kepercayaan bahwa anak yang dilahirkan bersamaan tanggal lahir dengan ibunya akan membawa hal yang kurang baik, maka pada malam tanggal 8 itu beliau meminta kepada dokter agar bayi dalam kandungan istriku bisa dikeluarkan sebelum tanggal 9. Dan entah karena dokternya mau mengerti keinginan mertuaku atau memang sudah waktunya Dea harus keluar, pada jam 23.58, terdengarlahlah tangis pertamanya setelah istriku menjalani operasi bedah caesar.

Setelah berunding dengan istri dan anak-anak, tempat makan malam perayaan uang tahun kali ini disepakati disebuah rumah makan yang baru di buka didekat cluster rumahku. Selain dekat, rumah makan ini juga memiliki tempat makan dilantai 2 yang terbuka dan bisa melihat pemandangan yang asri disekitar komplek perumahan dan gunung salak. Udara sejuk dan semilir angin yang berhembus sungguh membuat suasana terasa begitu nyaman.

Setelah memilih tempat duduk, pramusaji segera menghampiri dan menyodorkan buku menu. Aku, anak-anak, istriku, mertua perempuanku dan kedua pekerja rumah tangga kami melihat menu-menu yang tertulis di dalam buku tersebut untuk dipilih sebagai santapan kami malam ini. Bayanganku akan banyaknya variasi menu harus pupus karena ternyata tidak banyak menu makanan yang dihidangkan di rumah makan ini, padahal didekat pintu masuk tadi aku sempat membaca poster yang dipasang bahwa mereka menyediakan Western, Chinese dan Indonesian food.

Untuk hidangan western mereka hanya menyediakan tenderloin steak, sirloin steak, beberapa jenis spaghety serta beberapa menu yang aku lupa. Untuk Chinese food ternyata hanya ada sapo tahu, sedangkan menu Indonesian sedikit lebih banyak seperti nasi goreng, sop buntut, nasi timbel, bihun goreng, kepiting asam manis dan lain-lain.

Aku dan istriku akhirnya memilih tenderloin steak – well done dengan black paper sauge, Anin anakku yang sulung memilih fettuccini, Dea memilih zupa-zupa soup, Rafif memilih lasagna, mertuaku memesan nasi goreng dan sop buntut dan kedua pekerja rumah tangga kami memilih menu bihun goreng serta nasi timbel komplit.

Setelah menunggu lebih kurang setengah jam satu persatu menu-menu yang kami pesan tersebut berdatangan. Namun yang agak mengejutkan ternyata porsinya hanya lebih kurang setengah dari porsi makanan yang sama yang dijual dirumah makan lain dengan harga yang hampir 2 kali lebih mahal. Rafif yang terbiasa makan dengan porsi besar spontan komplain kepadaku “Pak, kok spaghetynya sedikit amat ? nanti tambah ya.”

Ternyata bukan hanya lasagna Rafif saya yang porsinya “kecil”, tenderloin steak pesanan saya dan istripun mengalami hal yang sama. Besar steaknya tidak lebih lebar dari diameter gelang tangan istriku, tebalnyapun kurang dari 1 centimeter. Kentang yang disajikan hanya beberapa buah saja, mungkin 7 atau 8 potong. Tidak ada sayuran yang menemani steak dan kentang dalam piring tersebut kecuali hanya sedikit black paper sauge yang disiramkan di atas potongan daging yang kelihatan gosong.

Gosong? Ya ternyata steak yang kami pesan well done malah sedikit berarang yang menandakan bahwa itu gosong, mirip potongan daging sate. Seumur-umur makan steak baru kali ini mendapatkan sajian seperti ini. Steak yang seharusnya ”juice”pun terasa kering menandakan ini bukan dari daging yang kualitasnya masih baik, seratnya juga terlihat sedikit lebih kasar. Australian beef ? entahlah, tebakanku mungkin daging ini berasal dari sapi madura yang kalah karapan.

Menu lain? Seperti biasa Rafif selalu mengatakan bahwa makanan yang dimakannya sangat enak dan aku juga tidak mencoba apa rasa lasagna pesanannya. Anin mengatakan bahwa fettuccini buatan Mama lebih enak. Dea mengatakan bahwa zupa-zupa soupnya tidak seenak yang dijual di aneka soup di Jalan Sukasari. Nasi gorengnya menurut mertuaku rasanya sangat biasa untuk harga seperti itu, sedangkan sop buntutnya terasa hambar. Tidak ada opini dari pekerja rumah tanggaku mengenai rasa nasi timbel komplit dan bihun goreng yang mereka makan, kemungkinan mereka bingung mau dibandingkan dengan masakan dari rumah makan mana.

Tissue yang seharusnya ada di meja makan ternyata baru disediakan saat aku meminta, terasa aneh bahwa rumah makan dengan kelas yang termasuk tidak murah tidak memeriksa kelengkapan yang harus ada di meja makan. Lebih parahnya lagi pesanan juice melon Anin tidak juga datang sampai kami selesai bersantap malam, padahal sudah dua kali aku mengingatkan pramusaji.

Pengunjung di meja sebelah aku lihat sempat complain 2 kali dan berniat untuk membatalkan pesanan karena terlalu lama menunggu. Dua kali juga manajer rumah makan datang untuk meminta maaf dan meminta pengunjung tersebut bersabar sambil menjelaskan bahwa makanan pesanannya sedang disiapkan. Tidak ada kompensasi yang diberikan oleh manajer tersebut saat meminta tambahan waktu menunggu si pengunjung. Terasa berbeda dengan pelayanan di rumah makan dalam film ”silent army” yang baru aku tonton tadi pagi. Difilm tersebut manajer rumah makan meminta anak buahnya segera menyediakan ”the best wine that we have” sebagai kompensasi untuk pengunjung yang complain dengan pelayanan yang dia dapatkan.

Aku jadi teringat artikel yang ditulis Hermawan Kartajaya di majalah garuda yang aku baca saat dalam perjalanan dari bandara Sultan Syarif Kasim ke bandara Soekarno-Hatta mengenai good marketing, strategy memasarkan produk dan menjalin suatu ikatan dengan pengguna produk tersebut . Disitu dituliskan antara lain bahwa untuk pihak yang menjual produk (baik barang ataupun jasa), pelayanan dengan menganalogikan pembeli adalah raja sudah harus mulai ditinggalkan dan diganti dengan pembeli adalah partner. Dengan menjadikan pembeli adalah partner, diharapkan terjadi interaksi business yang dapat membangun pengembangan jasa business yang lebih baik. Pembeli sebagai partner akan memberikan masukan-masukan atas kekurangan pelayanan yang ada, membuatnya sebagai bagian dari pelaku pengembangan business itu sendiri, dan membuat mereka menjadi pelanggan pengguna produk itu sendiri.

Pola custumer service juga sudah seharusnya diganti dengan customer care. Sudah bukan zamannya lagi hanya memberi pelayanan saat mereka meminta terlebih dahulu. Penjual produk harus proaktif menawarkan kepada pelanggan apa-apa yang mereka perlukan selama menggunakan produk atau jasa yang sedang ditawarkan, atau mengetahui dan menyiapkan terlebih dahulu keperluan mereka. Menunjukkan kepedulian jauh lebih baik daripada sekedar memberikan pelayanan. Customer care selalu mencari jalan untuk melayani pelanggan lebih dari apa yang mereka butuhkan atau mereka harapkan.

Ilusi sederhana mengenai service dan care sebagai berikut: Bila kita sedang bertamu kerumah seorang teman dan disuguhi minum tanpa menawarkan terlebih dahulu kepada kita apa yang kita ingin minum, teman ini termasuk yang sedang memberikan service, pola “customer service”. Tetapi bila sebelum menghidangkan minuman teman tersebut bertanya apakah kita punya penyakit gula atau alergi terhadap suatu minuman dan menawarkan minuman apa yang bisa dihidangkan untuk kita, inilah care, “customer care”.

Kembali ke rumah makan tersebut, sayang sekali bangunan yang indah, pelayan yang berpakaian rapi dan banyak ternyata belum terbekali dengan kemampuan yang memadai untuk menjalankan fungsi business yang baik. Bahkan ketika pemilik rumah makan menanyakan langsung kepada saya mengenai kekurangan pelayanan mereka dan saya sampaikan bahwa pesanan juice melon Anin yang sudah dua kali diingatkan tidak juga sampai, dengan entengnya kepala koki yang dipanggil sang pemilik menjawab “minuman sudah keluar dari dapur, cuma terkirim kemana saya tidak tahu.” Oawalah...

Mungkin ini satu hal yang terlupakan oleh sang pemilik rumah makan bahwa merekrut karyawan yang telah berpengalaman belum bisa menjamin bahwa mereka mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan dengan benar. Pengalaman yang mereka bawa dari tempat kerja sebelumnya belum tentu pengalaman yang bagus dan bisa diaplikasikan ke tempat yang baru. Perlu ada penyamaan persepsi business sesuai dengan yang diharapkan oleh pemilik.

Dengan menjadikan pelanggan menjadi “loyality customer”, sudah pasti akan menjadi keuntungan yang besar karena pasti akan terjadi promosi gratis yang dilakukan oleh pelanggan kepada rekan-rekannya. Umumnya promosi dari mulut ke mulut jauh lebih berhasil daripada promosi yang dilakukan oleh pelaku business sendiri. Ada personal guaranty yang secara tidak langsung diberikan oleh si pembawa berita kepada si penerima berita. Promosi mengenai kondisi dan keadaan yang sebenarnya.

Mudah-mudahan suatu hari nanti, saya dan keluarga ada keinginan untuk kembali menikmati makan bersama dirumah makan tersebut, tapi yang jelas tidak dalam waktu dekat, tetapi nanti setelah ada seorang rekan yang mempromosikan ke saya bahwa rumah makan tersebut memang sudah layak untuk dikunjungi. Semoga.

Tuesday, June 28, 2011

13th WEDDING ANNIVERSARY

Hari ini hari ulang tahun pernikahan kami. Jam enam tadi pagi saat hand phoneku sudah menyala sesaat setelah dicharge, aku melihat pesan yang dikirim istriku pada jam 00:16 melalui BeBeEm yang berbunyi ” Selamat hari ulang tahun perkawinan sayangku, belahan jiwaku.... Semoga rumah tangga kita sakinah mawaddah warrahmah, selalu penuh gelora cinta, kemesraan dan kesetiaan. Maafkan bila sebagai istri Neng masih banyak kekurangan, mudah-mudahan kedepannya kita selalu seiring sejalan, saling melengkapi, saling menjaga dan mencintai apa adanya. Neng ingin selalu di dekat Akang jiwa dan raga, mudah-mudahan Allah SWT mempersatukan kita dunia akhirat. Aamiin...

Aku jadi teringat kembali saat kami menikah 13 tahuh yang lalu, pada tanggal 28 Juni 1998. Aku yang saat itu masih berusia 27 tahun terlihat gagah dengan jas berwarna coklat, sedangkan istriku yang hampir berusia 26 tahun terlihat cantik dengan baju pengantinnya yang berwarna gading. Masa pacaran kami tidaklah lama, hanya sembilan bulan saja. Bila dihitung sejak kami berkenalan, hanya sepuluh bulan saja. Namun bagi kami cukuplah masa perkenalan yang 9 atau 10 bulan itu untuk menuju ke kehidupan yang baru dalam ikatan sebagai suami-istri.

Kami berkenalan saat masih sama-sama bekerja pada perusahaan kontraktor yang sedang mengerjakan pembangunan Corridor Block Gas Project milik perusahaan minyak Asamera di desa Grissik kecamatan Bayung Lencir – Musi Banyuasin. Aku bekerja pada perusahaan yang menjadi main contractornya sedangkan istriku bekerja pada perusahaan sub contractornya yang mengerjakan pekerjaan site development, civil dan konstruksi. Kami bisa berkenalan karena sore itu dia diajak oleh seorang temannya yang mengantarkan laporan kepadaku.

Sebenarnya istriku dan aku, sama-sama lulusan satu universitas dan dari fakultas yang sama namun berbeda jurusan saja. Aku dari teknik Mesin dan istriku dari teknik Sipil. Namun walaupun saat kuliah kami menggunakan gedung yang sama, anehnya kami tidak pernah saling mengenal. Entah karena saat itu aku masih banyak cewek yang mau dipilih atau bisa juga karena istriku tidak pernah tertarik dengan seorang lelaki yang jarang masuk kuliah, berkulit gelap, tidak menarik dan suka membuat keonaran serta tidak pernah punya Indeks Prestasi yang bagus.

Proses berkenalan sampai kami pacaran sangat singkat, hanya kurang dari satu bulan saja. Istriku terkejut juga saat aku bilang ingin mengajaknya pacaran padahal perkenalan kami belum juga memasuki usia satu bulan. Tapi aku cuek saja sambil mengatakan bahwa tidak ada waktu untuk berlama-lama, kalau mau ya syukur tetapi kalau tidak mau aku akan pergi minta bantuan dukun. Alhamdulillah ternyata aku diterima juga jadi pacarnya walau menurutnya dia harus sholat istighoroh dulu selama 7 hari. Sialan ! mau diajak hidup bahagia kok kurang percaya sih ! hehehe...

Aku masih ingat, seringkali aku membaca surat-surat cinta yang dikirimnya diatas tower yang tinggi. Terkadang diatas flare stack yang tingginya lebih kurang 60 meter, atau terkadang diatas tower amine regeneration yang tingginya sekitar 30 meter, sambil mengawasi para pekerja yang sedang bekerja di situ. Aku juga memberitahu dengan membalas suratnya bahwa surat cinta tersebut kubaca ditempat yang tinggi, kadang kala aku lengkapi dengan sketsa supaya dia bisa membayangkan disebelah mana aku saat itu. Aku berharap bahwa cinta kami memiliki cita-cita yang tinggi, melebihi tingginya tower-tower tersebut.

Persiapan menikah tidak semudah yang kami bayangkan, apalagi saat itu baru saja terjadi kerusuhan dimana-mana karena rakyat dan mahasiswa menginginkan presiden Soeharto turun. Toko-toko banyak yang dibakar, orang-orang China turunan banyak yang jadi korban dan tidak sedikit perempuan turunan China yang diperkosa. (Ini yang aneh, benci tapi kok bisa memperkosa ?). Hampir semua toko-toko tutup dan harga barang-barang menjadi mahal. Nilai tukar rupiah terhadap US dolar sempat merosot tajam menjadi US 1 dolar sama dengan 16 ribu rupiah.

Emas sulit didapatkan saat itu, hampir semua toko emas tutup atau tidak mau menjual karena harganya yang tidak stabil. Kami bingung, padahal perkawinan kami semakin dekat saja. Alhamdulillah, selalu saja ada kemudahan yang didapatkan. Seorang teman istriku yang kebetulan berjualan emas mau menjualnya kepada kami walaupun dengan harga yang tidak murah untuk ukuran saat itu .

Malam sebelum akad nikah, aku diminta datang kerumah istriku untuk melihat cincin perkawinan tersebut, yang akan kami kenakan besok setelah selesai acara akad nikah dalam acara pemakaian cincin kawin. Aku melihat bentuknya yang tidak bagus serta warnanya yang terlalu merah karena ternyata bukan emas 22 atau 24 karat. Aku kecewa, istriku juga kecewa. Namun menurut temannya hanya inilah cincin yang saat ini dia punya, tetapi nanti akan ditukar lagi kalau emasnya sudah mulai mudah didapatkan.

Namun ternyata ada yang lebih buruk lagi daripada sekedar kadar emas cincin tersebut yaitu ukurannya yang tidak muat dijari manis kananku. Alamak ! Untuk bisa masuk, jari manisku harus diolesi dulu pakai minyak makan. Wadooh...

Urusan jas yang akan kukenakan juga mengalami masalah. Karena ingin terlihat gagah dihari pernikahan dan ditambah lagi aku punya cukup banyak uang, aku memesannya dipenjahit yang terkenal di kota Palembang. Namanya juga menikah untuk satu kali, semuanya harus bagus, harus berbeda. Jangan sampai bentuk dasarku yang sudah tidak bagus menjadi bertambah tidak bagus lagi karena mengenakan jas yang tidak bagus. Pokoknya mahal sedikit tidak masalah, yang penting istriku tidak akan malu kalau dilihat teman-temannya bersuamikan aku karena sudah bisa terlihat sedikit lebih keren dengan jas tersebut. Bila perlu aku juga akan berdoa supaya cewek-cewek yang melihat aku dengan jas tersebut pada naksir semua....hihihi...

Tapi siapa sangka ini kejadian ini bisa terjadi ! Tiga hari menjelang hari pernikahanku alias tiga hari sebelum jas tersebut dikenakan, aku baca dikoran saat masih di lokasi tempat kami bekerja bahwa pertokoan besar dikota Palembang semalam habis dilahap si jago merah. Aku panik karena toko tempat aku menjahit jas nikah tersebut ada di dalam pertokoan yang terbakar itu. Segera aku meminta izin atasanku yang orang Jepang untuk kembali ke Palembang, untuk memastikan bagaimana nasib jas pesananku tersebut. Namun oh, ternyata toko itu sudah rata dengan tanah tanpa ada barang-barang yang tersisa sedikitpun. Aku menyesal kenapa aku tidak meminta saudaraku saja untuk mengambil jas itu padahal sudah selesai sejak seminggu yang lalu.

Atas informasi kawan akrabku, akhirnya aku menjahit jas pengganti dengan penjahit pinggir jalan didaerah perintis kemerdekaan karena waktunya yang sudah semakin dekat. Kang Doel, nama penjahit tersebut menyanggupi akan menyelesaikannya dalam waktu 2 hari supaya masih ada waktu untuk dipantas-pantaskan sebelum dikenakan. Supaya kalau terasa masih ada yang kurang, masih ada waktu untuk diperbaiki.

Tepat 2 hari kemudian jas tersebut sudah selesai dan tergantung rapi. Aku perhatikan jahitannya, kantongnya, bagian dalamnya dan kerahnya sangat bagus dan rapi. Tidak ada kulihat lajur benang jahitan yang miring atau berbelok. Saat aku kenakan ternyata sangat pas dan nyaman. Sungguh sulit dipercaya bahwa kualitas pinggir jalan bisa menyamai kualitas penjahit yang sudah punya nama besar. Yang membedakan hanyalah harganya yang jauh lebih murah, hampir separuh dari jas yang kupesan di pertokoan yang terbakar.

Alhamdulillah ! Saat hari pernikahan kami berjalan lancar, tidak ada keraguan dan kesalahan yang aku ucapkan saat akad nikah. Hanya mengenai cincin kawin masih tetap kekecilan dan jari manisku harus dioleskan minyak makan oleh ibu mertuaku supaya cincin tersebut bisa masuk. Walaupun warna cincin kami tidak sama karena kadar karat emasnya berbeda, namun tetap saja hari ini kami merasa sangat gembira karena telah resmi menjadi sepasang suami istri. Memasuki kehidupan baru yang kami rencanakan sejak memasuki masa berpacaran.

Sekarang kenangan itu telah 13 tahun berlalu, namun tetap saja masih terasa seindah seperti saat kami baru selesai melakukan akad nikah. Istriku masih cantik dan bahkan semakin cantik (maklum dari tahun ke tahun biaya maintenancenya ikut naik menyesuaikan dengan kenaikan gajiku...hehehe..). Dan walaupun sekarang kami sudah memiliki 3 orang anak namun tetap saja kami masih sempat meluangkan waktu berdua supaya cinta kami masih tetap membara. Seringkali saat touring dengan motor besar aku mengajak istriku untuk ikut, atau hampir setiap hari saat aku sedang libur kami pergi ke gym bersama untuk berolahraga, atau juga seringkali kami makan diluar berdua dan bahkan menjemput anak sekolahpun berdua.

Sampai saat ini alhamdulillah belum pernah ada keributan berarti diantara kami karena istriku adalah orang yang sangat sabar dan mengerti kedudukannya sebagai seorang istri. Istriku sangat dekat dengan kedua orang tuaku, saudara-saudaraku serta keponakan-keponakanku. Aku juga bersyukur karena cintanya yang besar kepadaku telah memilihnya untuk meninggalkan pekerjaannya dan memilih menjadi seorang ibu rumah tangga yang punya waktu penuh untuk mengurusi anak-anak kami. Tiada kebahagiaanku saat ini yang bisa melebihi kebahagiaan beristrikan dia. Rasa cinta dan sayangku kini terhadapnya pun melebihi apa yang pernah kurasakan 13 tahun yang lalu.

Walau perjalanan kami mengarungi bahtera rumah tangga masih panjang, namun InsyaAllah bisa kami lalui bersama dengan segala kekurangan yang kami miliki. Semoga Allah akan mengabulkan doa kami agar kami selalu dijadikan pasangan yang saling mencintai, menyayangi dan saling melengkapi. Aamiin.

Kurau, 28 Juni 2011

Teruntuk Juliana Dewi Kartikawati, istriku tercinta.

Saturday, January 29, 2011

GORENG TERIGU

Sejak dini hari kemarin hujan turun di Kurau, daerah kecil di Pulau Padang Kabupaten Meranti yang terletak di Propinsi Riau, tempatku mencari penghidupan untuk keluargaku. Lokasi yang terletak dibibir pantai ini semakin dingin kala angin laut berhembus kearah “camp” dan kantor kami, membuatku malas untuk segera mandi setelah pulang dari masjid untuk sholat subuh. Aku menarik selimut kembali setelah membaringkan badan di ranjang sambil menonton TV, mencari berita supaya tidak ketinggalan informasi diluar sana.

Diluar hujan masih juga belum berhenti sementara waktu sudah menunjukkan pukul 5.45 pagi, padahal jam 6.00 aku sudah harus berada di kantor. Jarak kamarku dengan kantor hanya sekitar 150 meter, 5 menit bila kutempuh dengan berjalan kaki atau hanya 2 menit bila aku bersepeda. Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi, menghidupkan air panas dan sweerrrr…..berharap rasa malas karena dingin segera hilang setelah tersiram hangatnya air yang mengalir melalui shower.

Seperti biasa tugas pertamaku dikantor setiap hari adalah mengirimkan laporan produksi minyak kepada para boss di Jakarta. Produksi yang semakin hari semakin menurun karena berkurangnya cadangan minyak dalam reservoar di perut bumi. Aku masih ingat saat 2 tahun yang lalu aku masuk ke perusahaan ini produksi kami masih mencapai 10.000 barrel perhari, namun saat ini untuk mencapai produksi 7500 barrel perhari saja susahnya bukan main, padahal sudah dilakukan penambahan sumur-sumur baru dan juga mengoptimasikan sumur-sumur yang lama.

Saat laporan selesai aku kirimkan, hujan bukannya malah sudah berhenti namun semakin lebat mengguyur bumi Kurau. Tanah dan pohon menjadi semakin basah, bahkan ranting-ranting pohon besar tertunduk kebawah karena beratnya menahan air hujan. Monyet-monyet dan burung yang biasanya ramai disekitar camp dan kantor kami tidak ada yang tampak satupun juga, para pekerja yang biasanya mondar-mandirpun tidak ada yang beraktifitas, semua berlindung dari derasnya air hujan yang turun.

Dalam balutan udara yang dingin (walaupun AC dalam kantor sudah aku matikan) entah kenapa aku teringat dengan goreng terigu buatan ibuku, goreng terigu yang hampir setiap hari menjadi menu bekalku saat aku masih duduk di Taman Kanak-kanak. Ya, hampir setiap hari aku dibekali goreng terigu dengan pilihan rasa yang hanya dua saja, goreng terigu manis atau gurih.

Walaupun masih diTaman Kanak-kanak, terus terang aku terkadang malu juga dengan teman-temanku karena selalu membawa bekal yang itu-itu juga sementara kawanku selalu berganti-ganti. Aku lihat terkadang mereka membawa kue lapis, terkadang dadar gulung, donut, wafer, bolu, bolu kukus, kroket dan kue-kue yang lain. Sehingga tak jarang goreng terigu bekalku tidak aku makan dan aku bawa pulang kembali ke rumah.

Bukannya aku tidak pernah protes dengan ibuku mengenai bekalku yang tidak pernah diganti, tetapi jawaban yang diberikan oleh ibuku tidak pernah berubah, sama seperti bekalku. ”Kamu taukan kalau ibu sudah harus pergi untuk mengajar pada jam lima pagi dari rumah? Jadi pasti tau jugakan kalau ibu tidak sempat buat kue sebelum jam lima? Jam empat pagi ibu sudah harus bangun dan memasak untuk kalian sarapan serta menyiapkan lauk untuk makan siang juga. Kita tidak bisa punya pembantu karena tidak punya cukup uang untuk membayar gajinya. Ibu harus punya banyak tabungan untuk membiaya kalian sekolah, bukan asal sekolah saja...tetapi menjadi sarjana yang punya kedudukan yang baik supaya tidak harus banting tulang seperti ibu dan ayah.”

Ya, ibuku adalah seorang guru sekolah dasar ditempat yang jauh, lebih dari 60 km dari rumahku. Untuk kondisi sekarang mungkin jarak tersebut bukan jarak yang terlalu jauh karena banyaknya sarana transportasi, tetapi pada tahun 75 itu bukan jarak yang pendek karena untuk sampai di SD tempatnya mengajar ibuku harus 3 kali berganti kendaraan dengan waktu tempuh lebih dari 2 jam.

Ibuku baru sampai rumah pada jam 4 sore. Di rumah ibuku hanya sedikit beristirahat, paling 30 menit. Setelah itu beliau segera masak untuk kami makan malam, mencuci baju, menyetrika dan menyiapkan bahan untuk mengajar besok. Sungguh aktifitas yang berat. Ibuku terpaksa bekerja karena untuk membantu ayahku membiaya kehidupan kami sehingga kami bisa sekolah yang tinggi, bisa menjadi sarjana dan bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Ayahku adalah seorang pekerja biasa pada sebuah perusahaan BUMN, gajinya menurut ibuku tidak akan cukup untuk persiapan biaya kuliah kami nanti, biaya kuliah untuk keempat anak-anaknya.

Diluar masih juga hujan, padahal saat ini sudah jam setengah sebelas. Aku terpaksa membatalkan rencana untuk melihat lokasi-lokasi baru untuk pengeboran sumur-sumur minyak baru. Aku masih duduk dikantor, melanjutkan ingatanku tentang goreng terigu buatan ibuku. Masih bisa kurasakan rasa manis dan gurihnya goreng terigu tersebut, masih bisa juga aku ingat bentuknya yang tidak beraturan karena tidak digoreng dengan cetakan.

Ibuku seorang planner yang handal walaupun aku yakin beliau tidak pernah mengerti apa itu arti planing dalam kamus kata teknik. Mempersiapkan biaya pendidikan untuk anak-anaknya saat mereka masih kecil dan baru mulai sekolah. Membuat estimasi perhitungan biaya sekolah untuk beberapa tahun kedepan serta strategi menabung supaya nilai tabungannya tidak merosot tergerus inflasi. Dan berkomitment untuk menomor sekiankan hal-hal yang dianggapnya tidak penting atau tidak masuk dalam skala prioritas.

Masih ingat juga saat aku mulai menginjak remaja dan meminta sesuatu yang menurutnya bukan hal yang penting, jawabannya masih juga sama dengan jawaban saat aku masih di Taman Kanak-kanak “Biaya sekolah dan kuliah kalian adalah hal yang paling penting. Tugas Ibu dan Ayah adalah menyiapkan kalian menjadi sarjana yang punya pekerjaan baik, bisa menghidupi keluarga kalian dengan baik dan menyekolahkan anak-anak kalian lebih tinggi dari sekolah kalian.” Hmmm..., disamping seorang Planner yang ulung, ibuku ternyata seorang yang berkomitment tinggi.

Bayangan goreng terigu masih menari-nari dalam pikiranku, rasanya yang kenyal tetapi tidak alot, warnanya yang kecoklatan dan juga bentuknya yang pasti tidak menarik. Terbayang juga bagaimana ibuku yang harus bangun pagi untuk menggorengnya dengan susah payah karena penglihatan beliau yang sudah kurang karena gangguan pada matanya sejak masih kecil.

Aku tersenyum, dari jendela kantor kulihat hujan belum juga berhenti. Aku mengangkat telepon dan berkata pada seseorang di ruangan lain “Selamat pagi, dengan saya Area Manager....bisa minta buatkan goreng terigu? Terima kasih, resepnya tolong diambil diruangan saya 10 menit lagi, saya mau tanyakan pada ibu saya dulu...”. Aku menutup telepon dan segera menelpon ibuku untuk menanyakan resep goreng terigu tersebut sambil ingin berterima kasih untuk goreng terigunya yang telah membawaku menjadi seorang Area Manager, posisi tertinggi untuk pekerja di lapangan pada explorasi minyak dan gas bumi.

Thursday, August 20, 2009

BELAJAR DARI ANAK KECIL


Kemarin pagi aku diminta istriku untuk mendokumentasikan perlombaan dan pertandingan yang akan diadakan disekolah anak laki-laki bungsuku, Rafif. Sebenarnya aku malas melakukannya karena hari itu aku akan pergi ke kantor di Jakarta untuk mengikuti meeting mingguan yang sering kami sebut Majelis Selasa-an. Namun istriku sedikit memaksa, karena kebetulan kamera poket yang kuberikan sedikit bermasalah.

Rafif bersekolah di TK. Islam Ibnu Hajar yang terletak di jalan Padjajaran-Bogor. Selain berkonsep islami, TK ini juga separoh bernuansa alam. Halaman sekolahnya ditanami pohon-pohon yang masing-masing di beri nama supaya anak-anak tahu itu pohon apa. Disamping pohon yang sengaja ditanam, ada juga pohon yang mungkin sebelum sekolah ini berdiri sudah tumbuh lebih dahulu, misalnya dua pohon beringin, satu pohon salam dan beberapa pohon cemara. Pohon-pohon ini menjulang besar dan kokoh, memayungi halaman bermain anak-anak yang terletak di depan kelas mereka sehingga menciptakan suasana teduh dan sejuk.

Jam 7.15 aku berangkat dari rumah bersama Rafif untuk menuju sekolahnya, dan seperti biasa setiap aku libur dia selalu minta diantar dengan sepeda motor. Jarak rumahku ke sekolahnya lumayan jauh, sekitar 7 kilo meter-an dan butuh waktu 15 menit sampai ke sana. Istriku menyusul kami dari belakang, dia mengandarai mobil karena nantinya aku akan pulang lebih awal sebelum perlombaan dan pertandingan tersebut usai karena harus hadir di kantor sebelum jam 1 siang ini.

Jam 8.30 perlombaan dan pertandingan di mulai setelah sebelumnya anak-anak belajar di kelas selama 1 jam. Mereka berhamburan keluar kelas sambil tertawa senang dan berlari-lari menuju rak sepatu. Rafifpun demikian, dia kelihatan sangat bersemangat dan gembira karena tidak harus duduk di dalam kelas untuk belajar. Anakku memang tidak begitu suka duduk berlama-lama untuk mendengarkan gurunya mengajarkan doa dan bernyanyi, satu-dua pelajaran yang dia suka adalah bila harus memperagakan gerakan seekor kucing atau belajar menggambar mobil.

Perlombaan pertama adalah lomba makan kerupuk. Sepuluh atau dua belas kerupuk digantung dengan tali rafia diantara 2 pohon cemara. Kerupuk-kerupuk itu menjuntai-juntai melayang ditiup angin. Anak-anak yang mengikuti lomba ini telah dibariskan mengikuti jajaran kerupuk yang bergantungan tersebut, masing-masing menghadapi satu kerupuk.

Babak pertama diikuti oleh anak laki-laki. Rafif tidak ketinggalan untuk ikut dalam perlombaan ini. Tadi, sebelum perlombaan dimulai dia telah meminta dua kerupuk kepada ibu gurunya. Bukan untuk latihan tetapi dia memang sangat doyan makan kerupuk, apalagi kerupuk Palembang buatan Suwandi. Dan satu kerupuk sudah tentu tidaklah cukup untuk memuaskan hasratnya, begitu habis dia langsung meminta tambahan satu lagi.

Mulaiiiii !!!! ibu guru memberikan aba-aba kepada pada anak-anak untuk segera berlomba menghabiskan kerupuk yang bergantungan. Bungsuku itu dengan cepat melahap kerupuk yang berada di depannya. Saat kerupuk milik kawannya baru habis seperempat, kerupuknya sudah tinggal setengah. Rafif pasti menang pikirku. Tidak sia-sia setiap hari dia makan kerupuk.

Ternyata sisa kerupuk yang setengah tersebut tidak bisa lagi dijangkau dengan mulutnya karena terlalu tinggi, apalagi selalu melayang ditiup angin. Sudah kelihatan dia mulai capek dan frustasi karena kerupuk tesebut selalu menghindar dari gigitannya. Dan haap !! Kerupuk tersebut diraihnya dengan tangan dan disentakkannya. Dapat ! Rafif melanjutkan perlombaan dengan memakan kerupuk yang berada digenggaman tangan kanannya. Habiissss ...teriaknya kuat. Dan sudah pasti walaupun dia yang pertama menghabiskan kerupuk, ibu guru mendiskualifikasi kemenangannya.

Babak kedua perlombaan ini diikuti oleh anak-anak putri. Mereka kelihatan tidak sebegitu semangat para anak laki-laki tadi. Mungkin mereka tidak begitu doyan makan kerupuk dan mengharapkan kalau yang dilombakan ini adalah makan sosis saja atau makan coklat.

Saat ibu guru selesai memberi aba-aba, para murid putri ini segera memulai menggigit kerupuk yang berada di depan mereka masing-masing. Perlombaan berjalan lamban, tidak seramai lomba anak laki-laki. Ada yang baru satu gigitan sudah meninggalkan arena, dan malahan ada yang tidak mau menggigit kerupuknya sama sekali dan hanya berdiri memperhatikan kawan-kawannya bersusah payah menuntaskan perlombaan.

Diantara sepuluh atau dua belas peserta ini aku sempat melihat dua orang peserta yang saling membantu untuk memegangkan kerupuk kawannya supaya tidak lari saat hendak digigit. Mereka saling membantu dan tertawa lucu. Sama sekali tidak nampak suasa kompetisi diantaranya padahal mereka sama-sama sedang mengikuti lomba untuk memperebutkan predikat pemenang.

Aku tersenyum geli dan langsung teringat dengan proses pemilihan Presiden yang baru saja selesai kita lakukan bulan yang lalu, tersenyum geli saat melihat sikap para Capres dan Cawapres yang dinyatakan kalah pada keputusan MK kemarin. Sikap salah satu calon Capres yang belum juga mau mengakui kekalahannya, apalagi memberi ucapan selamat kepada pemenang – Presiden terpilih.

Jika memberi ucapan selamat saja yang mudah untuk dilakukan tidak juga dilaksanakan, apalagi keinginan untuk membantu Presiden terpilih memajukan bangsa ini. Menyumbang gagasan dan pikiran yang dikeluarkannya selama masa berkampanye, memberikan ide-ide hebatnya kepada pemenang untuk bisa diimplementasikan walaupun dia sendiri tidak terpilih menjadi Presiden bangsa ini. Supaya bangsa dan negara ini maju, supaya anak-anak bangsa lebih bangga bisa bekerja membangun negaranya sendiri dari pada bekerja di negara tetangga yang justru sering melecehkan dengan kita sadari. Terus terang rasa keras kepala saya belum bisa terima bagaimana mungkin ada anak bangsa yang bisa berbangga kerja di negara yang melecehkan bangsanya sendiri demi mengejar materi yang mungkin bisa didapatkan lebih banyak. Bagi saya negara dan bangsa tidak ubahnya adalah seorang bapak, maka bila bapak saya dihina tetangga, pasti saya akan marah dan membela, dan sangat tidak mungkin saya mau bekerja dengan tetangga sialan tersebut. Entahlah !

Di berita tadi pagipun, sang Capres yang kalah tersebut belum juga mau memberikan ucapan selamat, entah apalagi yang ditunggunya. Bukankah ucapan selamat yang diberikan malah akan membuatnya semakin terhormat. Apakah hanya karena merasa dicurangi saat berlangsungnya proses pemilihan umum ?

Terlepas dari alasan-alasan yang ada, dibutuhkan jiwa besar jika ingin menjadi pemimpin yang besar. Tidak pernah ada pemimimpin besar yang memiliki jiwa kecil. Betapa beratnya perjuangan nabi Muhammad SAW dalam menegakkan Islam karena ada phase yang mengharuskan terjadinya peperangan yang sangat dahsyat dan mengharuskan beliau kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya. Paman beliau, Syaidina Hamzah harus wafat dalam perang Uhud karena di tombak oleh seorang budak dari belakang dan kemudian mayatnya dirusak oleh Hindun, istri Abu Sofyan yang bahkan mengunyah-ngunyah hati Syaidina Hamzah untuk membalaskan dendam atas kematian ayahnya dalam perang Badar.

Namun adakah Nabi Muhammad memiliki dendam? Ternyata tidak! Bahkan beliau selalu menasehati para sahabat bahwa perang yang dilakukan adalah semata-mata karena Allah, untuk menegakkan agama Allah dan bukan perang untuk membalas dendam atas kematian orang yang dicintai. Nabi sangat melarang para sahabat yang akan berangkat ke medan perang karena rasa dendam, beliau selalu menyampaikan bahwa syahid itu hanya karena menegakkan agama Allah semata. Sehingga terhadap anak-anak dan wanita musuh, beliau tidak membenarkan untuk membunuhnya, juga kepada musuh yang telah menyerah.

Kepada yang beragama lainpun beliau memberikan perlindungan karena Islam adalah agama yang membawa perdamaian, bukan agama yang ditegakkan dengan pedang dan kekerasan. Beliau mengizinkan terjadinya perdagangan yang saling menguntungkan dan melakukan kerja sama selagi tidak mencampur adukkannya dengan masalah Tauhid. Bukankah dalam surat Al Kafirun ayat 6 di tegaskan bahwa “ Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.

Lalu kenapa yang banyak terjadi di republik ini adalah saling caci maki dan merasa benar sendiri? Saling merasa pintar padahal belum pernah ada buktinya. Senang menghabiskan waktu untuk berdebat daripada mewujudkan sesuatu yang berguna untuk bangsa dan negara ini. Bukankah menurut Mario Teguh tidak ada yang seratus persen benar dan tidak ada juga yang seratus persen salah. Sehingga kenapa tidak menyatukan yang benarnya saja dan meninggalkan yang salahnya. Bukankah yang demikian jauh lebih bermanfaat ? Kenapa tidak saling membantu untuk sebuah keinginan yang besar dan baik padahal Al Quran telah menjelaskannya dalam surat Al-maidah ayat 2 yang berbunyi “Saling bertolong-tolonganlah dalam kebaikan (dalam mengerjakan yang dititahkan) dan ketakwaan (dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang) dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa (atau maksiat) dan pelanggaran (artinya melampaui batas-batas ajaran Allah)”

Kedua peserta lomba makan kerupuk telah menghabiskan kerupuknya dengan tetap sambil tertawa riang. Menang kelihatannya bukanlah tujuan akhir mereka, mereka hanya ingin saling membantu supaya bisa menghabiskan kerupuk-kerupuk tersebut. Membantu mewujudkan tujuan mereka berdiri diantara dua pohon cemara,.....memakan kerupuk sampai habis.

Bogor, 18 Agustus 2009

APAKAH TUHAN TIDAK ADIL?


Barusan saja saya, anak dan istri ikut perlombaan yang diadakan di lingkungan tempat tinggal kami di Bogor dalam rangka memeriahkan HUT RI yang ke 64. Acara yang diikuti oleh warga beberapa cluster tersebut berlangsung cukup meriah. Hampir sebagian besar warga antusias mengikuti perlombaan dan pertandingan tersebut. Anak-anak, orang tua dan bahkan ada satu-dua orang yang sudah manulapun ikut berpartisipasi dengan hadir untuk ikut menonton. Mungkin manula tersebut ingin bernostalgia dengan keramaian pesta 17-an saat mereka masih muda, atau mungkin malah ingin mengenang kembali saat-saat heroik mereka yang ikut berteriak merdeka dengan kepalan tangan dan tubuh yang berlumur darah. Mereka tampak begitu senang dan selalu tersenyum.

Anak pertamaku mengikuti perlombaan makan kurupuk, begitu panitia memberi aba-aba, ia bersama temannya yang lain segera bercepat untuk menghabiskan kerupuk yang digantung pada tali tersebut. Kruk...kruk..kruk...mereka makan dengan mulut yang menganga lebar. Aku tersenyum, untung di bogor tidak ada kerupuk batok seperti di Palembang. Bisa dibayangkan bila panitia menggantungkan kerupuk batok untuk lomba makan kerupuk , jam berapa mereka akan bisa menghabiskan kerupuk tersebut. Kerupuk yang keras dan lebar tesebut,saat dimakan dalam keadaan tidak lomba saja bisa membuat mulut pegel dan linu. Aku biasanya memakan kerupuk tersebut dengan cuka pem-pek supaya menjadi lunak dan sedikit berasa pedas.

Pluit tanda waktu telah habis berbunyi. Panitia mencatat pemenang pertama sampai tiga untuk dilombakan lagi di sesi berikutnya. Anakku kalah. Kerupuknya habis tidak sampai setengah. Sejak pertama ikut perlombaan makan kerupuk tiga tahun yang lalu di Palembang, belum pernah satu kalipun dia menang, padahal setiap kami makan kerupuk adalah menu wajib yang harus tersedia.

Perlombaan berikutnya adalah lomba menangkap ikan. Kali ini anak laki-laki bungsuku ikut berpartisipasi. Bocah berusia 4 tahun ini begitu semangat untuk ikut lomba. Sejak perlombaan belum dimulai matanya tidak pernah lepas dari kolam karet yang sudah diisi ikan-ikan kecil, entah ikan apa. Rafif, anak laki-lakiku itu begitu senang dengan ikan. Bukan senang untuk memeliharanya, tetapi hanya senang untuk menangkap dan kemudian memencetnya sampai mati. Saat masih tinggal di Palembang, hampir setiap minggu aku harus mengganti ikan di kolam taman rumah karena selalu ditangkap dan dipencetnya.

Menghadapi lawan yang berusia lebih tua 3 sampai 5 tahun darinya sudah pasti dia ketinggalan. Apa lagi tubuh bongsornya menyulitkannya untuk leluasa bergerak. Biarpun banyak ikan yang berenang di sekitar tangannya, hanya satu saja yang berhasil dia tangkap sejak tadi, itupun ikan yang sudah lemas karena mungkin pernah terinjak oleh kaki peserta. Begitu waktu dinyatakan habis dan dari sepuluh peserta yang ikut, hanya anakku satu-satunya peserta yang hanya berhasil menangkap satu ikan saja. Saat melihat peserta yang lain memperoleh lebih dari 5 ikan, Rafif langsung protes, dia tidak terima waktu perlombaan telah dihentikan sebelum dia berhasil menangkap ikan yang sama banyak dengan teman-temannya yang lain. Mukanya memerah, giginya beradu karena geram, mimiknya menandakan bahwa ia sangat kecewa dan emosi. Rafif tidak terima dengan keputusan panitia yang memintanya untuk berhenti padahal ia masih mengumpulkan ikan yang hanya satu saja. Baginya keadilan itu adalah mendapatkan jumlah ikan yang sama banyak. Saat panitia seddang menghitung ikan-ikan yang ditangkap, Rafif kembali menceburkan diri kedalam kolam tersebut, byurrr ...... dia kembali melanjutkan menangkap ikan tanpa satupun ada panitia yang bisa mencegahnya.

Berikutnya adalah lomba menangkap belut untuk ibu-ibu. Istriku yang semula hanya berniat mengantar anak-anak ikut lomba terpaksa harus berpartisipasi karena panitia mendesaknya untuk ikut lomba tersebut.
Priiiitttt !!!! waktu dimulainya perlombaan telah dibunyikan, tangan istriku bergerak cepat...sat..set...persis gerakan tangan Katara saat memperagakan jurus pengendali air dalam cerita Avatar. Satu..dua..tiga...dan saat waktu lomba dihentikan aku lihat botol aquanya telah banyak terisi belut hasil tangkapannya. Gawat pikirku, kalo ada intel polisi yang ikut menonton jalannya lomba bisa-bisa istriku dicurigai tukang copet karena kelihaiannya menangkap belut yang licin, apalagi kami pindahan dari Palembang, daerah yang juga pengekspor copet ke Jabodetabek selain Medan. Saat pengumunan hasil tangkapan belut terbanyak diumumkan, ternyata istriku adalah penangkap belut terbanyak. Tidak kurang dari 13 belut yang berhasil ditangkapnya dalam waktu satu menit.

Pertandingan terakhir adalah tarik tambang untuk bapak-bapak. Untuk yang satu ini sudah pasti aku tidak pernah absen. Sejak ikut pertandingan tarik tambang 10 tahun yang lalu, teamku selalu menjadi juara satu. Bukan karena aku saja yang kuat, tetapi biasanya untuk urusan pertandingan tarik tambang yang kuat akan selalu akan mencari kawan yang juga kuat. Yang kuat sudah pasti tidak mau gabung dengan yang tidak kuat atau yang badannya kecil. Disamping akan membuat capek karena harus nyumbang tenaga yang kebih besar, bila kalah juga akan malu karena penonton biasanya akan bilang “wah, percuma punya badan besar toh masih juga kalah....”

Satu...dua...tiga... Wasit segera melepaskan injakannya dari tengah tambang yang diberi pita merah. Aku dan team segera mengeluarkan sentakan tenaga yang besar supaya lawan segera tertarik. Tapi ternyata tidak segera membuahkan hasil karena komposisi tubuh penarik tambang dari kedua team hampir sama. Walah... tenagaku mulai terkuras ...hggghh..hggghh...sekuat tenaga aku menarik tambang tersebut agar bisa ditarik. Beberapa saat kemudian mulai membuahkan hasil, pita tersebut mulai bergerak mendekat kearah kami...hhggggghhhh....dan berhasil...babak pertama bisa kami menangkan.

Babak kedua kami berganti tempat. Team lawan yang sudah kelelahan menjadi keuntungan buat kami karena team kami masih terlihat segar. Begitu wasit menyatakan tambang sudah boleh di tarik, team kami tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Seluruh tenaga kami keluarkan supaya pertandingan cepat selesai. Rahangku mengeras, otot-otot tendonku berkontraksi hebat , tenagaku rasanya sudah sampai di kepala...dan alhamdulillah, team kami menang.

Pembagian hadiah bagi para pemenang segera dimulai. Anak-anak yang menjadi juara lomba sangat senang karena akan menerima hadiah tersebut. Ada beberapa anak yang menjadi juara dalam beberapa lomba dan akan mendapatkan hadiah dari setiap lomba yang dimenangkannya. Mereka yang menjadi juara di multi cabang ini akan membawa hadiah yang banyak. Wah, wajah mereka terlihat sangat gembira. Anak pertamaku sedikit kecewa karena dari 3 lomba yang diikutinya tidak satupun yang berhasil dimenangkannya. Satu-satunya yang membuatnya tetap gembira adalah karena ibu-bapaknya sama-sama menjadi juara pertama untuk lomba menangkap belut dan pertandingan tarik tambang.

Ketika istriku dipanggil ke atas panggung dan menerima hadiah, dia terlihat sangat senang karena hadiahnya sangat bagus, satu set tea cup yang cantik. Wah, kebetulan sekali karena saat ini kami baru punya satu set tea cup saja, padahal kadang kala kami harus menerima tamu yang jumlahnya lebih dari enam orang. Lumayan katanya, ternyata hanya membutuhkan waktu satu menit saja untuk mendapatkan satu set tea cup. Alhamdulillah....

Ketika aku dipanggil untuk naik ke atas panggung dan menerima hadiah atas pertandingan yang lumayan membuat tenagaku habis , aku sangat terkejut... ternyata hadiahnya hanya satu tea cup saja...ya hanya satu tea cup dan bukan satu set seperti hadiah yang diterima istriku.

Aku tidak menyalahkan panitia karena ini hanyalah hiburan untuk mengisi perayaan 17-an, dan juga bagiku apa yang aku dapatkan adalah rezeki dari Allah. Lalu kalau begitu Allah tidak adil dong karena istriku tidak perlu bercapek-capek dan mengeluarkan tenaga yang besar untuk bisa mendapatkan satu set tea cup, sedangkan aku harus mengeluarkan tenaga yang besar dan keringat hanya untuk mendapatkan satu tea cup saja.

Hahaha...tapi justru itulah kemuliaan dan keadilan ALLAH terhadap kita. Hanya kita saja yang seringkali melihat keadilan ALLAH dan membandingkannya dengan keadilan menurut manusia. Keadilan yang sulit untuk dicerna bagi mereka yang hanya melihat dari sisi bendanya saja. Aku jadi ngeri bila membayangkan bahwa bila yang capek, yang selalu bekerja keras, yang rajin belajar, yang punya modal kuat, yang punya kekuatan dan yang pintar adalah mereka yang pasti akan “berhasil” dalam hidupnya, terutama secara financial. Sehingga kalau ini terjadi maka hak ALLAH akan hilang, hak untuk memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendakiNYA.
Sehingga dengan demikian orang-orang tidak perlu lagi beribadah dan selalu memohon kepadaNYA agar diberi rezeki...pokoknya belajar saja yang rajin supaya jadi pintar, siapkan modal, kerja keras dan lain sebagainya saja supaya pasti bisa jadi kaya (yang belum tentu masuk Syurga). Terus bagaimana nasib yang kurang pintar, terbatas kemampuan fisiknya sehingga tidak bisa kerja keras, yang tidak punya modal, yang tidak punya kekuatan dan yang sekolahnya bandel kayak aku dulu?

Alhamdulillah, ALLAH memang zat yang maha adil. Yang diberi rezeki harta yang banyak bukan saja mereka yang pintar, yang rajin, yang punya modal banyak, yang kuat dan yang lain sebagainya. Tetapi ALLAH akan memberikan rezeki kepada siapa saja yang dikehendakinya, bahkan kepada yang tidak mempercayaiNYA pun tetap ALLAH akan memberikan. Bukankah dalam Al Quran-pun sudah dijelaskan bahwa “ ALLAH akan memberikan rezeki kepada siapa saja yang dikehendakiNYA” dan juga “ dari arah yang tidak disangka-sangka”.


Kini kupandang lagi tea cup yang kuperoleh dengan susah payah dan mengeluarkan tenaga besar tadi sambil kembali berucap “ Alhamdulillah ya ALLAH, tea cup ini adalah sebuah pertanda bahwa ENGKAU masih tetap memberikan rezeki kepadaku disamping rezeki lain yang telah juga kuterima hari ini. Sungguh ENGKAU maha berkehendak terhadap umatMU, maka ampuni segala dosa-dosa dan buruk prasangkaku terhadapMU.


Bogor, 17 Agustus 2009.
Kepada semua kawan-kawan, saya mengucapkan mohon maaf lahir dan batin atas segala kesalahan yang telah saya perbuat dan mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi kawan-kawan yang muslim.

Saturday, March 14, 2009

MENANTI JAM KULIAH


Ini bukan sedang berjudi apalagi pornography. Kegiatan ini hanya mengisi waktu luang disaat menunggu jam kuliah, sekalian mengasah ketrampilan bermain remi. Dizaman ini dulu belum ada permainan “song”, jadi yang dimainkan saat itu mungkin permainan “set-sot” kalau tidak salah, atau mungkin permainan 41 malah. Aku tidak tahu karena aku tidak tertarik bermain remi.

Teman saya yang terlihat diphoto tersebut adalah Richard, Pe’i, Romas dan Awang sedang buka baju sudah pasti karena kepanasan. Maklum, kalau tidak salah tempat costnya Richard di Jalan Riau ini tidak menggunakan AC. Mungkin ditahun itu harga AC masih mahal sehingga hanya menggunakan kipas angin saja. Yang habis dikerok karena masuk angin, biasanya kalau ikut bermain tidak membuka baju dan juga tidak membuka celana (apa hubungannya???).

Tempat cost Richard ini memang jadi tempat berkumpul saat menunggu jam kuliah berikutnya dan melakukan berbagai kegiatan. Kadang-kadang kita membuat tugas disini, membuat contekan untuk ujian, meminjam komputernya untuk membuat makalah atau tempat belajar jadi “dewasa” dengan melihat buku-buku dewasa yang dibawa oleh kawan-kawan yang lain dan biasanya saling bertukar pinjam.

Yang punya rumah kalau tidak salah adalah seorang janda yang punya hobby berjudi. Hampir setiap hari kami melihat tamunya datang, untuk berjudi barangkali. Mungkin uang bayaran cost itulah yang dia jadikan modal untuk bermain bersama tamu-tamunya tersebut. Dan Mungkin karena itu juga Richard tidak boleh terlambat membayar uang cost, karena kalau terlambat maka janda itu tidak bisa bermain judi.

Kalau lagi asyik bermain remi dan jam kuliah berikutnya tiba, kadang-kadang ada alasan untuk tetap meneruskan permainan remi tersebut sampai selesai. Alasan yang sering dipakai adalah “..males ah, yang ngajar pak Fusito...” atau “..tidak datang juga tidak apa-apa karena yang mengajar pak Valentino..” atau juga “...nitip absen dong..” dan banyak lagi alasan-alasan yang lain yang kami buat.

Namun kalau mata kuliah berikutnya adalah mata pelajaran yang diajarkan oleh mbak Mawarni, biasanya kita segera bergegas supaya dapat tempat duduk di depan ruangan kuliah. Maklum, mbak ini dosen muda yang cukup cantik wakaupun sedikit judes dan ketus. Yah, paling tidak lumayanlah untuk kita-kita yang lagi pada puber. Beda dengan jurusan teknik kimia yang mayoritas malah perempuan, sehingga mahasiswanya malah sudah pada imun, sudah terbiasa berdekatan dengan teman ceweknya sehingga gejolaknya tidak sekencang mahasiswa jurusan mesin. Sudah tidak dahsyat lagi!

Sekarang Richard dan Romas sudah tidak gondrong lagi dan terlihat dan terlihat rapi. Mungkin karena pengaruh bertambahnya usia dan karirnya di tempat kerja. Tapi yang jelas mereka lebih terlihat tampan saat ini, beda dengan saat itu yang terlihat seperti penyanyi dangdut walaupun mereka meng-claim seperti penyanyi rock. Hahaha...