Sekilas tidak ada yang terlihat
istimewa dengan bocah berumur sekitar tiga belasan tahun ini yang bekerja
sebagai pembawa barang belanjaan di pasar Bogor.
Seperti kebanyakan anak-anak lain
yang berprofesi sama, tubuh mereka kelihatan kurus, hitam dan kurang terurus
dengan gigi yang terlihat kuning karena jarang disikat. Dan pagi ini aku
bertemu dengannya ditengah hiruk pikuk pasar Bogor saat menemani istriku
belanja di pasar traditional yang ramai, bau dan becek, untuk membantu
mengangkat barang belanjaannya. Salah satu kerjaan rutinku disaat sedang libur.
” Di bantu dibawain
belanjaannya ya, pak ?” bocah itu menawarkan jasanya kepadaku.
” Terima kasih, dik, tidak
usah. Saya lebih kuat kok.” jawabku.
” Beli kantong plastiknya
saja, pak. Supaya tidak repot bawanya kalau dijadikan satu.” ujarnya kembali.
” Tidak usah. Begini juga
tidak apa-apa.” aku kembali menjawab. Dia diam sejenak, kemudian berlalu
meninggalkan kami.
Aku dan istri kembali
berbelanja, berjalan dari satu los ke los yang lain untuk menyelesaikan
belanjaan yang ada dilist belanjanya. Aku tersenyum, teringat saat aku menemani
ibuku berbelanja belasan tahun yang lalu. Sambil membawa barang belanjaan, aku
diajarinya cara memilih sayuran, telur, ikan dan banyak hal, termasuk cara
menawar belanjaan yang akan dibeli. Bertahun-tahun aku menemani ibuku ke pasar,
dan bertahun-tahun pula dia mengajariku hal yang sama seolah-olah aku tidak
pernah mengerti apa yang sudah diajarkannya padaku itu. Padahal apa yang
diajarinya sudah ada diluar kepalaku semua. Aku hapal nama-nama ikan yang
dijual dilos ikan, bahkan dengan melihat ukurannya saja aku bisa tau jumlahnya
dalam satu kilogram. Aku tau mana telur yang baru dan sudah lama hanya dari
melihat warna kulitnya, juga berapa banyak jumlahnya perkilo dengan melihat
ukuran telur tersebut. Aku juga hapal semua nama sayuran dan harganya, termasuk
sayuran mana saja yang diperlukan untuk membuat suatu masakan. Tetapi tetap
saja ibuku selalu mengajari hal yang sama setiap aku menemaninya belanja.
Karena itu, sebenarnya aku
lebih jago daripada istriku dalam hal belanja barang-barang seperti ini, tapi
demi pembagian tugas aku biarkan istriku melakukan seperti apa yang dilakukan
ibuku dan aku tetap dengan tugas lama, membawa barang belanjaan. Sampai dirumah
kadang-kadang aku suka protes bahwa telur yang dibelinya ukurannya tidak sama,
atau timun yang dibelinya tidak begitu bagus.
Dan bocah itu kembali
datang saat istriku sedang memilih kentang yang akan digunakan untuk membuat
kuah kari martabak telur pesanan anak-anak.
” Saya bawain ya, pak ?”
dia kembali menawarkan jasanya.
” Tidak usah, dik. Saya
lebih kuat, coba saja lihat...” aku berkata sambil memperlihatkan ukuran
bicep-ku yang memang lebih besar dari ukuran normal. Dia tertawa, giginya yang
kuning dengan sisa-sisa makanan yang menempel semakin terlihat jelas.
” Kalau saya bawain bapak
jadi enak jalannya, tidak perlu repot lagi.”
Istriku melihat kami dan
tersenyum, lalu berkata padaku ” Biarkan dia yang bawa, Kang. Kasihan...” Aku
mengangguk dan menyerahkan kantong belanjaan itu kepadanya. Bocah itu tersenyum
senang sambil menatapku penuh kemenangan.
Melihat istriku yang masih
memilih kentang, bocah itu meletakkan belanjaan kami sambil berkata ” Saya
bantu milihan kentangnya ya, bu. Ukurannya seperti itu ya?” lanjutnya lagi
sambil menunjuk yang kentang-kentang yang telah dipilih istriku. Sesaat
kemudian tangannya dengan cekatan membongkar tumpukan kentang dan segera
memilihnya sesuai dengan ukuran yang sama.
Saat istriku membeli
timun, tomat dan bawang merah diapun melakukan hal yang sama membantu
memilihkannya sesuai instruksi istriku. Pekerjaan istriku menjadi lebih cepat.
Setelah sampai ditempat parkir, aku baru ingat kalau belum membeli pisang
karena memang tidak ada dalam list belanjaan.
” Ada yang lupa..” kataku
pelan
” Apa ?” istriku bertanya
” Lupa beli pisang.”
jawabku singkat
” Biar saya yang beli,
pak. Bapak tunggu saja di sini. Bapak mau pisang apa ?” tiba-tiba bocah itu menyela
pembicaraan kami.
” Pisang ambon yang
ukurannya besar.” aku menjawab ”dan jangan terlalu matang...”
” Baik, pak.” dia segera berlalu meninggalkan
kami setelah menerima selembar uang dua puluh ribu dariku.
Lima menit berlalu...sepuluh
menit berlalu. Sialan ! bocah itu belum juga muncul, padahal tukang pisang jaraknya
tidak terlalu jauh dan terlihat dari tempat parkir. Beli dimana dia ?
Jangan-jangan dia kabur dengan uang dua puluh ribu itu. Yah, tertipu aku kalau
begitu.
Baru saja aku selesai ndumel,
tiba-tiba aku melihatnya berlari-lari kecil dengan membawa sesisir pisang
menuju ke arah tempat kami parkir.
” Maaf, pak. Agak lama.
Saya beli pisangnya bukan disitu tetapi disebelah sana karena lebih bagus dan
harganya lebih murah.” terangnya sambil menyerahkan pisang ambon yang berwana
kuning, besar dan berkulit mulus tanpa ada bercak hitam.
” Ini kembaliannya...” dia
memberikan kepadaku satu lembar uang sepuluh ribu. Aku terperanjat, bagaimana
mungkin dia bisa membeli pisang ambon sebagus dan sebesar ini dengan harga
hanya sepuluh ribu ? Biasanya paling murah aku mendapatkannya dengan harga tiga
belas atau lima belas ribu rupiah. Di jalan Padjajaran atau di jalan Sukasari,
pisang ambon dengan ukuran seperti ini tidak boleh kurang dari tiga puluh ribu
rupiah bila hari Sabtu dan Minggu.
” Iya, pak, di sebelah
sana memang lebih murah, apalagi kalau saya yang membelinya. Para penjual di
pasar ini mungkin kasihan melihat kami anak-anak pasar, sehingga mereka tidak tega memberikan harga
yang sama dengan harga yang diberikan kepembeli lain.
” Oooo...” aku mengguman
pelan. ” Berapa ongkos jasamu membawakan belanjaan kami, dik ?” tanyaku
” Terserah saja, pak.
Biasanya tiga ribu rupiah.” jawabnya cepat.
” Upah jasamu membantu
membelikan pisang dan membantu memilihkan belanja istri saya berapa ?” tanyaku
lagi.
” Oh, itu tidak perlu
dibayar, pak. Saya kasihan saja melihat ibu memilih kentang dan timun sendiri.
Juga supaya belanjanya cepat selesai.”
Aku terdiam. Anak ini
secara insting telah melakukan marketing
strategy yang hebat. Bagaimana dia melakukan customer care terhadap client-nya, bukan lagi hanya sebatas
melakukan customer service apalagi
sekedar ”lips services” seperti pada promosi
internet provider yang mengatakan jaringannya cepat sehingga diiklan yang
ditayangkan perlu mengenakan safety belt, tapi kenyataannya sangat lambat. Dia
telah melakukan sesuatu yang dia tidak sadari bahwa hal tersebut hal yang
pernah dilakukan oleh seorang CEO dari JetBlue, David Neeleman, untuk membangun
sebuah perusahaan penerbangan yang hebat, sehingga Neeleman menjadi pemberitaan
diberbagai majalah bisnis atas strateginya ini. Sebuah strategi yang sama
dengan yang dilakukan bocah pembawa barang belanjaan dari pasar Bogor ; gigih menawarkan, melayani, membantu dan melakukan interaksi dengan pelanggan dengan
satu tujuan akhir ”customer satisfaction”.
Sebuah pelajaran penting
yang sangat murah yang aku dapatkan bila dibandingkan dengan selembar uang lima
puluh ribuan yang aku selipkan ditangannya sebelum kami meninggalkan pasar
Bogor. Hukum pasar memang pasti berlaku ”you
will get more from your satisfied customer”, dan Ace’ bocah pembawa
belanjaan dari pasar Bogor membuktikan itu.