Monday, July 18, 2011

RUMAH MAKAN BARU

Pada tanggal 9 Juli yang lalu, saya dan keluarga merayakan hari ulang tahun Rafif – anak bungsu saya, Dea – anak yang nomor dua, dan Istri saya. Kebetulan hari kelahiran mereka berurutan 7,8 dan 9. Cukup unik dan perayaannya selalu dilakukan bersamaan, tiup kue yang sama setelah lilin angka umurnya diganti, kemudian kami lanjutkan dengan makan malam diluar. Selalu kami rayakan dengan sangat sederhana.

Dea yang lahir pada tanggal 8 Juli 2002, sebenarnya baru akan lahir pada tanggal 9 dini hari. Namun karena mertua laki-lakiku yang orang Jawa masih punya kepercayaan bahwa anak yang dilahirkan bersamaan tanggal lahir dengan ibunya akan membawa hal yang kurang baik, maka pada malam tanggal 8 itu beliau meminta kepada dokter agar bayi dalam kandungan istriku bisa dikeluarkan sebelum tanggal 9. Dan entah karena dokternya mau mengerti keinginan mertuaku atau memang sudah waktunya Dea harus keluar, pada jam 23.58, terdengarlahlah tangis pertamanya setelah istriku menjalani operasi bedah caesar.

Setelah berunding dengan istri dan anak-anak, tempat makan malam perayaan uang tahun kali ini disepakati disebuah rumah makan yang baru di buka didekat cluster rumahku. Selain dekat, rumah makan ini juga memiliki tempat makan dilantai 2 yang terbuka dan bisa melihat pemandangan yang asri disekitar komplek perumahan dan gunung salak. Udara sejuk dan semilir angin yang berhembus sungguh membuat suasana terasa begitu nyaman.

Setelah memilih tempat duduk, pramusaji segera menghampiri dan menyodorkan buku menu. Aku, anak-anak, istriku, mertua perempuanku dan kedua pekerja rumah tangga kami melihat menu-menu yang tertulis di dalam buku tersebut untuk dipilih sebagai santapan kami malam ini. Bayanganku akan banyaknya variasi menu harus pupus karena ternyata tidak banyak menu makanan yang dihidangkan di rumah makan ini, padahal didekat pintu masuk tadi aku sempat membaca poster yang dipasang bahwa mereka menyediakan Western, Chinese dan Indonesian food.

Untuk hidangan western mereka hanya menyediakan tenderloin steak, sirloin steak, beberapa jenis spaghety serta beberapa menu yang aku lupa. Untuk Chinese food ternyata hanya ada sapo tahu, sedangkan menu Indonesian sedikit lebih banyak seperti nasi goreng, sop buntut, nasi timbel, bihun goreng, kepiting asam manis dan lain-lain.

Aku dan istriku akhirnya memilih tenderloin steak – well done dengan black paper sauge, Anin anakku yang sulung memilih fettuccini, Dea memilih zupa-zupa soup, Rafif memilih lasagna, mertuaku memesan nasi goreng dan sop buntut dan kedua pekerja rumah tangga kami memilih menu bihun goreng serta nasi timbel komplit.

Setelah menunggu lebih kurang setengah jam satu persatu menu-menu yang kami pesan tersebut berdatangan. Namun yang agak mengejutkan ternyata porsinya hanya lebih kurang setengah dari porsi makanan yang sama yang dijual dirumah makan lain dengan harga yang hampir 2 kali lebih mahal. Rafif yang terbiasa makan dengan porsi besar spontan komplain kepadaku “Pak, kok spaghetynya sedikit amat ? nanti tambah ya.”

Ternyata bukan hanya lasagna Rafif saya yang porsinya “kecil”, tenderloin steak pesanan saya dan istripun mengalami hal yang sama. Besar steaknya tidak lebih lebar dari diameter gelang tangan istriku, tebalnyapun kurang dari 1 centimeter. Kentang yang disajikan hanya beberapa buah saja, mungkin 7 atau 8 potong. Tidak ada sayuran yang menemani steak dan kentang dalam piring tersebut kecuali hanya sedikit black paper sauge yang disiramkan di atas potongan daging yang kelihatan gosong.

Gosong? Ya ternyata steak yang kami pesan well done malah sedikit berarang yang menandakan bahwa itu gosong, mirip potongan daging sate. Seumur-umur makan steak baru kali ini mendapatkan sajian seperti ini. Steak yang seharusnya ”juice”pun terasa kering menandakan ini bukan dari daging yang kualitasnya masih baik, seratnya juga terlihat sedikit lebih kasar. Australian beef ? entahlah, tebakanku mungkin daging ini berasal dari sapi madura yang kalah karapan.

Menu lain? Seperti biasa Rafif selalu mengatakan bahwa makanan yang dimakannya sangat enak dan aku juga tidak mencoba apa rasa lasagna pesanannya. Anin mengatakan bahwa fettuccini buatan Mama lebih enak. Dea mengatakan bahwa zupa-zupa soupnya tidak seenak yang dijual di aneka soup di Jalan Sukasari. Nasi gorengnya menurut mertuaku rasanya sangat biasa untuk harga seperti itu, sedangkan sop buntutnya terasa hambar. Tidak ada opini dari pekerja rumah tanggaku mengenai rasa nasi timbel komplit dan bihun goreng yang mereka makan, kemungkinan mereka bingung mau dibandingkan dengan masakan dari rumah makan mana.

Tissue yang seharusnya ada di meja makan ternyata baru disediakan saat aku meminta, terasa aneh bahwa rumah makan dengan kelas yang termasuk tidak murah tidak memeriksa kelengkapan yang harus ada di meja makan. Lebih parahnya lagi pesanan juice melon Anin tidak juga datang sampai kami selesai bersantap malam, padahal sudah dua kali aku mengingatkan pramusaji.

Pengunjung di meja sebelah aku lihat sempat complain 2 kali dan berniat untuk membatalkan pesanan karena terlalu lama menunggu. Dua kali juga manajer rumah makan datang untuk meminta maaf dan meminta pengunjung tersebut bersabar sambil menjelaskan bahwa makanan pesanannya sedang disiapkan. Tidak ada kompensasi yang diberikan oleh manajer tersebut saat meminta tambahan waktu menunggu si pengunjung. Terasa berbeda dengan pelayanan di rumah makan dalam film ”silent army” yang baru aku tonton tadi pagi. Difilm tersebut manajer rumah makan meminta anak buahnya segera menyediakan ”the best wine that we have” sebagai kompensasi untuk pengunjung yang complain dengan pelayanan yang dia dapatkan.

Aku jadi teringat artikel yang ditulis Hermawan Kartajaya di majalah garuda yang aku baca saat dalam perjalanan dari bandara Sultan Syarif Kasim ke bandara Soekarno-Hatta mengenai good marketing, strategy memasarkan produk dan menjalin suatu ikatan dengan pengguna produk tersebut . Disitu dituliskan antara lain bahwa untuk pihak yang menjual produk (baik barang ataupun jasa), pelayanan dengan menganalogikan pembeli adalah raja sudah harus mulai ditinggalkan dan diganti dengan pembeli adalah partner. Dengan menjadikan pembeli adalah partner, diharapkan terjadi interaksi business yang dapat membangun pengembangan jasa business yang lebih baik. Pembeli sebagai partner akan memberikan masukan-masukan atas kekurangan pelayanan yang ada, membuatnya sebagai bagian dari pelaku pengembangan business itu sendiri, dan membuat mereka menjadi pelanggan pengguna produk itu sendiri.

Pola custumer service juga sudah seharusnya diganti dengan customer care. Sudah bukan zamannya lagi hanya memberi pelayanan saat mereka meminta terlebih dahulu. Penjual produk harus proaktif menawarkan kepada pelanggan apa-apa yang mereka perlukan selama menggunakan produk atau jasa yang sedang ditawarkan, atau mengetahui dan menyiapkan terlebih dahulu keperluan mereka. Menunjukkan kepedulian jauh lebih baik daripada sekedar memberikan pelayanan. Customer care selalu mencari jalan untuk melayani pelanggan lebih dari apa yang mereka butuhkan atau mereka harapkan.

Ilusi sederhana mengenai service dan care sebagai berikut: Bila kita sedang bertamu kerumah seorang teman dan disuguhi minum tanpa menawarkan terlebih dahulu kepada kita apa yang kita ingin minum, teman ini termasuk yang sedang memberikan service, pola “customer service”. Tetapi bila sebelum menghidangkan minuman teman tersebut bertanya apakah kita punya penyakit gula atau alergi terhadap suatu minuman dan menawarkan minuman apa yang bisa dihidangkan untuk kita, inilah care, “customer care”.

Kembali ke rumah makan tersebut, sayang sekali bangunan yang indah, pelayan yang berpakaian rapi dan banyak ternyata belum terbekali dengan kemampuan yang memadai untuk menjalankan fungsi business yang baik. Bahkan ketika pemilik rumah makan menanyakan langsung kepada saya mengenai kekurangan pelayanan mereka dan saya sampaikan bahwa pesanan juice melon Anin yang sudah dua kali diingatkan tidak juga sampai, dengan entengnya kepala koki yang dipanggil sang pemilik menjawab “minuman sudah keluar dari dapur, cuma terkirim kemana saya tidak tahu.” Oawalah...

Mungkin ini satu hal yang terlupakan oleh sang pemilik rumah makan bahwa merekrut karyawan yang telah berpengalaman belum bisa menjamin bahwa mereka mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan dengan benar. Pengalaman yang mereka bawa dari tempat kerja sebelumnya belum tentu pengalaman yang bagus dan bisa diaplikasikan ke tempat yang baru. Perlu ada penyamaan persepsi business sesuai dengan yang diharapkan oleh pemilik.

Dengan menjadikan pelanggan menjadi “loyality customer”, sudah pasti akan menjadi keuntungan yang besar karena pasti akan terjadi promosi gratis yang dilakukan oleh pelanggan kepada rekan-rekannya. Umumnya promosi dari mulut ke mulut jauh lebih berhasil daripada promosi yang dilakukan oleh pelaku business sendiri. Ada personal guaranty yang secara tidak langsung diberikan oleh si pembawa berita kepada si penerima berita. Promosi mengenai kondisi dan keadaan yang sebenarnya.

Mudah-mudahan suatu hari nanti, saya dan keluarga ada keinginan untuk kembali menikmati makan bersama dirumah makan tersebut, tapi yang jelas tidak dalam waktu dekat, tetapi nanti setelah ada seorang rekan yang mempromosikan ke saya bahwa rumah makan tersebut memang sudah layak untuk dikunjungi. Semoga.

No comments:

Post a Comment